Label
- Artikel (1)
- Bisnis (1)
- Istilah manajemen (1)
- Jurnal (10)
- Kampus (1)
- kegiata stie (1)
- lampiran skripsi (1)
lampiran skripsi 0
17.22STIE CENDEKIA BOJONEGORO
S
ISTEMATIKA SKRIPSI
(Untuk Penelitian Lapangan)
Halaman Judul
Halaman Persetujuan
Halaman Pengesahan
Motto Dan Persembahan (Sebaiknya Ada)
Abstrak
Biodata Penulis
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel (Kalau Ada)
Daftar Gambar (Kalau Ada)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
C. Identifikasi Masalah
D. Rumusan Masalah
E. Hipotesis (kalau ada)
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.
B.
C.
Dst.
Catatan: Kajian Pustaka Harus memuat hal-hal berikut:
Berisi teori-teori yang diambil atau dikutip dari rujukan dan harus relevan dengan masalah yang dirumuskan. Hasil penelitian terdahulu. Ditambah cuplikan hasil-hasil penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti lain pada waktu sebelumnya serta ditunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan serta ditunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan sekarang ini berbeda dalam aspek-aspek tertentu.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling
C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
D. Metode dan Teknik Analisis Data
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Singkat Obyek Penelitian
B. Hasil Penelitian
C. Pembahasan
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran: (Berisi antara lain: instrumen penelitian, surat keterangan telah melakukan penelitian dari obyek penelitian, dan lain-lain yang keterangan yang relevan.)
Lampiran: 2
STIE CENDEKIA BOJONEGORO
SISTEMATIKA SKRIPSI
(Untuk Penelitian Pustaka)
Halaman Judul
Halaman Persetujuan
Halaman Pengesahan
Motto Dan Persembahan (Sebaiknya Ada)
Abstrak
Biodata Penulis
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel (Kalau Ada)
Daftar Gambar (Kalau Ada)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
C. Identifikasi Masalah
D. Rumusan Masalah
E. Hipotesis (kalau ada)
F. Metodologi Penelitian.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.
B.
C.
Dst.
Catatan: Kajian Pustaka Harus memuat hal-hal berikut:
Berisi teori-teori yang diambil atau dikutip dari rujukan dan harus relevan dengan masalah yang dirumuskan. Hasil penelitian terdahulu. Ditambah cuplikan hasil-hasil penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti lain pada waktu sebelumnya serta ditunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan serta ditunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan sekarang ini berbeda dalam aspek-aspek tertentu.
BAB III PEMBAHASAN (Judul bab tergantung judul skripsi/rumusan masalah).
A. Pembahasan Masalah I
(Judul sub bab tergantung rumusan Masalah I)
B. Pembahasan Masalah II
(Judul sub bab tergantung rumusan Masalah I)
Catatan:
Jika masalah lebih dari satu, pembahasannya dapat dipisahkan menjadi Bab tersendiri, yaitu Bab III (masalah I) dan Bab IV (masalah II).
BAB IV (BAB V): PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran (Berisi antara lain: instrumen penelitian, surat keterangan telah melakukan penelitian dari obyek penelitian, dan lain-lain yang keterangan yang relevan.)
Lampiran: 3
Contoh: Halaman Sampul.
HARGA POKOK STANDART SEBAGAI ALAT
PENGENDALIAN BIAYA PRODUKSI PADA
PT. PERTAMINA DI BOJONEGORO
SKRIPSI
Oleh:
S U D E W A
NPM. 9911007
PROGRAM STUDI MANAJEMEN/AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI “CENDEKIA”
BOJOEGORO
TAHUN …….
Lampiran: 4
Contoh: Halaman Persetujuan Pembimbing.
HARGA POKOK STANDART SEBAGAI ALAT
PENGENDALIAN BIAYA PRODUKSI PADA
PT. PERTAMINA DI BOJONEGORO
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
guna mencapai gelar Sarjana Ekonomi
Program Studi Manajemen/Akuntansi pada
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi “Cendekia”
Bojonegoro
Oleh:
S U D E W A
NPM. 9911007
Menyetujui:
Dosen Pembimbing I,
Drs. SUPRAPTO, MM
Lektor
NIP. 131 649 629 Dosen Pembimbing II,
M.S. ZUHRI, SE, MM
Asisten Ahli
NID. 9701020
Lampiran 5
Contoh: Halaman Pengesahan
Dipertahankan di depan Panitia Penguji Skripsi
Program Studi Manajemen/Akuntansi
STIE “CENDEKIA” BOJONEGORO
Oleh:
Nama Mahasiswa : …………………….
NPM : …………………….
Disetujui dan diterima pada:
Hari, tanggal : …………………….
Tempat : …………………….
Panitia Penguji Skripsi:
1. Ketua : Drs. SUPRAPTO, SE, MM (…………………)
2. Sekretaris : MOCH. SUBERI, SE, MM (…………………)
3. Anggota : Drs. SUPRAPTO, SE, MM (…………………)
M.S. ZUHRI, SE, MM. (…………………)
Dra. ENDAH YULIANI, SE, MM (…………………)
Disahkan oleh :
Ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
“CENDEKIA”
Bojonegoro
Drs.SUKISNO,SE, M.Si
Lektor Kepala
NIP. 131 472 672
Lampiran :6
Contoh: Halaman Motto dan persembahan
M O T T O
Ilmu Allah itu sungguh amat luas, yang
apabila lautan dijadikan sebagai tinta untuk menulis
dan daratan sebagai kertas ditulisi
maka lautan dan daratan itu akan habis
sedangkan ilmu Allah SWT
tak akan ada habisnya
Kupersembahkan untuk:
Keluargaku,
Sahabatku
Almamaterku,
Bangsa dan Negaraku
Lampiran 7
Contoh: Biodata Singkat Penulis.
BIODATA SINGKAT PENULIS
Nama Lengkap : S U D E W A
NPM : 99110077
Tempat, Tanggal lahir : Bojonegoro, 17 AGUSTUS 1963
Agama : Islam
Pendidikan Sebelumnya : SMU NEGERI 1 Bojonegoro
Pekerjaan : PEMDA Bojonegoro
Jabatan : Kepala Seksi
Nama Istri/Suami : Mayangsari
Nama Orangtua/Wali : Winotogoro
Alamat Rumah : Jl. Letda Suraji No.58 Bojonegoro 62112
Alamat Kantor : Jl. Mertayasa No. 5 Bojonegoro 62113
Telepon : (0353) 887890
Judul Skripsi : Harga Pokok Standart Sebagai Alat
Pengendalian Biaya Produksi Pada
PT. Pertamina Di Bojonegoro
Bojonegoro, Tgl, Bln, Thn
Mahasiswa/penulis
S U D E W A
Lampiran 8
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT pencipta manusia dan alam semesta. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rosul Muhammad SAW. Dari keteladanannya kita mendapatkan nilai-nilai acuan bagaimana berinteraksi dengan sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna meraih gelar sarjana Ekonomi (SE) jenjang Strata-1 Program Studi Manajemen, dan penelitiannya bertujuan untuk mengetahui, menganalisa suatu masalah yang diangkat dalam skripsi ini dan mengambil manfaat dari hasil kesimpulannya.
Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada :
1. Bapak Drs. Sukisno, SE, MSi, selaku Ketua STIE “CENDEKIA”
2. Bapak M.S. Zuhri, SE, MM selaku Ketua Program Studi Manajemen STIE “CENDEKIA”
3. Bapak Moch. Suberi, SE, MM dan M.S. Zuhri, SE, MM, selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan petunjuk yang berguna dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Para Dosen, karyawan, Rekan-rekan, dan semua pihak yang telah memberikan berbagai bentuk bantuan dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini.
5. Orangtua dan saudara-saudara kami tercinta yang telah memberikan dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berarti bagi penulis.
6. Juga pihak lain yang terkait dalam penulisan skripsi ini.
Akhirnya, sebagai hamba yang lemah, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari berbagai kelemahan dan kekurangan. Untuk itu, penulis harapkan saran dan kritik dari pembaca. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi penulis sendiri.
Bojonegoro, Tgl, Bln, Thn
Mahasiswa/penulis
S U D E W A
Lampiran :9
Contoh: Daftar Isi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……….…………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN ……..…………………………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN ………..…………………………………………. iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN (SEBAIKNYA ADA) ……….………………. iv
ABSTRAK ……….……………………………………………………………… v
BIODATA PENULIS. …….……………………………………………………. vi
KATA PENGANTAR ……..…………………………………………………… vii
DAFTAR ISI ……..…………………………………………………………….. viii
DAFTAR TABEL (KALAU ADA) …………………………………………….. ix
DAFTAR GAMBAR (KALAU ADA) ………..…………………………………. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….. 1
B. Judul …………………………………………………………. 2
C. Judul ………………………………………………………….. 3
Dst ……………………………………………………………….. dst
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Judul …………………………………………………………. xx
B. Judul …………………………………………………………. xx
Dst ………………………………………………………………… dst
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Judul …………………………………………………………. xx
B. Judul …………………………………………………………. xx
Dst ………………………………………………………………… dst
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Judul …………………………………………………………. xx
B. Judul …………………………………………………………. xx
Dst ………………………………………………………………… dst
BAB V PENUTUP
A. Judul …………………………………………………………. xx
B. Judul …………………………………………………………. xx
Daftar Pustaka
Lampiran
Catatan: Daftar isi dibuat sesuai sistematika skripsi (Lihat lampiran 1 dan 2)
Lampiran :10
Contoh: Daftar Tabel
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Judul .. ………………………………………………………… xx
2. Judul ….……………………………………………………… xx
3. Judul …..……………………………………………………… xx
4. Judul …………………………………………………………… xx
5. Judul …..……………………………………………………… xx
Dst.
Lampiran :11
Contoh: Daftar Gambar
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Judul …..……………………………………………………… xx
2. Judul …………………………………………………………… xx
3. Judul …..……………………………………………………… xx
4. Judul …..……………………………………………………… xx
5. Judul ……..…………………………………………………… xx
Dst.
Lampiran : 12
Contoh: Halaman Judul/Makalah/Ringkasan Skripsi
(Untuk Seminar)
HARGA POKOK STANDART SEBAGAI ALAT
PENGENDALIAN BIAYA PRODUKSI PADA
PT. PERTAMINA DI BOJONEGORO
MAKALAH/RINGKASAN SKRIPSI
Oleh:
S U D E W A
NPM. 9911007
PROGRAM STUDI MANAJEMEN/AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI “CENDEKIA”
BOJOEGORO
TAHUN ………
Lampiran : 13
Contoh: Isi Untuk Ringkasan Skripsi
(Untuk Seminar)
Halaman Judul
Halaman Persetujuan Pembimbing
Biodata Singkat Penulis
Kata Pengantar
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
Daftar Pusataka
Lampiran: - Surat Ijin Penelitian
Keterangan:
- Ringkasan skripsi ditulis pada jenis kertas HVS putih, tebal/berat 70-80 gram, paper size: A-4 (21 x 29 cm), line spacing 1,5 line.
- Ringkasan skripsi dijadikan makalah seminar
- Ringkasan skripsi/makalah yang akan diseminarkan telah disetujui dosen pembimbing (I,II) dan dicopy sekurang-kurangnya 13 ekxpl, masing-masing untuk dosen pembimbing, 10 peserta (Mahasiswa)
Lampiran : 14
Contoh: Persetujuan Pembimbing
(Untuk Seminar)
HARGA POKOK STANDART SEBAGAI ALAT
PENGENDALIAN BIAYA PRODUKSI PADA
PT. PERTAMINA DI BOJONEGORO
MAKALAH/RINGKASAN SKRIPSI
Diajukan Oleh:
S U D E W A
NPM. 9911007
Telah disetujui untuk diseminarkan oleh:
Dosen Pembimbing I,
Drs. SUPRAPTO, MM
Lektor
NIP. 131 649 629 Dosen Pembimbing II,
M.S. ZUHRI, SE, MM
Asisten Ahli
NID. 9701020
Lampiran : 15
Contoh: Persetujuan Pembimbing
(Un
tuk Ujian Skripsi)
HARGA POKOK STANDART SEBAGAI ALAT
PENGENDALIAN BIAYA PRODUKSI PADA
PT. PERTAMINA DI BOJONEGORO
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
guna mencapai gelar Sarjana Ekonomi
Program Studi Manajemen/Akuntansi pada
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi “Cendekia”
Bojonegoro
Diajukan Oleh:
S U D E W A
NPM. 9911007
Telah disetujui untuk diujikan oleh:
Dosen Pembimbing I,
Drs. SUPRAPTO, MM
Lektor
NIP. 131 649 629 Dosen Pembimbing II,
M.S. ZUHRI, SE, MM
Asisten Ahli
NID. 9701020
Lampiran 16
Contoh: Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 1993, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Hadjiisarosa, Poenomosidi, 1997, Naskah I: Butir-butir Untuk Memahami Pengertian Mengenai Hal Secara Benar dan Utuh, Yogyakarta Program Magister Manajemen STIE Mitra Indonesia.
Koentjaraningrat, 1983, Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
Kolter, Philip, 1995, Manajemen Pemasaran (Terjemahan). Jakarta: Salemba Empat. Miller, E.J.et.al. (1999), Economic Today. Columbuis, Ohio Honeywel Company.
Rangkuti, Freddy, 1997, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis Reorinetasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Reksohadiprodjo, Sukanto, 1996, Pedoman Penelitian dan Penulisan Tesis. Yogyakarta: Program Magister Manajemen STIE Mitra Indonesia.
Swastha, B. dkk, 1998, Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta: Liberty
Tim Penyusun Buku, 1997, Pedoman Penelitian dan Penulisan Tesis., Yogyakarta: Program Magister Manajemen STIE Mitra Indonesia.
Tunggal, Amin Widjaja, 1994, Manajemen Strategik Suatu Pengantar. Jakarta: Harvarindo.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Bandung: Citra Umbara.
B
iasanya kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas Surabaya sering dikunjungi siswa-siswi SMA. Namun tidak untuk kali ini, Selasa, 31 Maret 2009 kemarin mulai jam 9 pagi sekitar 20 Orang dosen dan karyawan serta 10 Orang mahasiswa dari STIE Cendikia Bojonegoro yang datang untuk berkunjung.
Kunjungan mereka ke kampus hijau ini merupakan suatu bentuk studi banding untuk saling berdiskusi menambah wawasan dan pengalaman tentang peningkatan pendidikan bidang ekonomi. Selain itu, berdiskusi mengenai motivasi para dosen dan karyawan untuk memajukan lembaganya, sedangkan para mahasiswa yang siang itu bertempat diruang yang berbeda, lebih banyak sharing tentang pengembangan organisasi mahasiswa.
Drs. Anang Dwi, ketua STIE Cendikia menyampaikan “Saya senang sekali kepada STIE Perbanas karena telah memberi kesempatan kepada kami untuk belajar atau ngangsu kawruh disini
PENDAHULUAN
Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia. Sebagai gambaran, kendati sumbangannya dalam output nasional (PDRB) hanya 56,7 persen dan dalam ekspor nonmigas hanya 15 persen, namun UKM memberi kontribusi sekitar 99 persen dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta mempunyai andil 99,6 persen dalam penyerapan tenaga kerja (Kompas, 14/12/2001). Namun, dalam kenyataannya selama ini UKM kurang mendapatkan perhatian. Dapat dikatakan bahwa kesadaran akan pentingnya UKM dapat dikatakan barulah muncul belakangan ini saja.
Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari negara berkembang belakangan ini memandang penting keberadaan UKM (Berry, dkk, 2001). Alasan pertama adalah karena kinerja UKM cenderung lebih baik dalam hal menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Kedua, sebagai bagian dari dinamikanya, UKM sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi. Ketiga adalah karena sering diyakini bahwa UKM memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas ketimbang usaha besar. Kuncoro (2000a) juga menyebutkan bahwa usaha kecil dan usaha rumah tangga di Indonesia telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah unit usaha dan mendukung pendapatan rumah tangga.
Alasan yang ketiga yang dikemukakan Berry dkk di atas sangat relevan dalam konteks Indonesia yang tengah mengalami krisis ekonomi. Aspek fleksibilitas tersebut menarik pula dihubungkan dengan hasil studi Akatiga berdasarkan survei di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Sumatra Utara. Temuan Akatiga tersebut seperti dikutip Berry dkk (2001) adalah bahwa usaha kecil di Jawa lebih menderita akibat krisis daripada luar Jawa, begitu pula yang di perkotaan bila dibandingkan dengan yang di pedesaan.
Sementara itu, berdasarkan data PDRB, krisis ekonomi telah menyebabkan propinsi-propinsi di Jawa mengalami kontraksi ekonomi yang lebih besar ketimbang daerah-daerah lain di Indonesia (lihat gambar berikut). Lima propinsi di Jawa seluruhnya adalah lima besar propinsi di Indonesia yang mengalami kemorosotan ekonomi terparah. Pada tahun 1998, saat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi terparah, hanya Papua saja yang pertumbuhan ekonominya masih positif sedangkan propinsi-propinsi lainnya mengalami kontraksi. Pada tahun tersebut, seluruh propinsi di pulau Jawa mengalami kontraksi ekonomi yang jauh lebih parah daripada propinsi-propinsi lainnya (lihat juga Akita dan Alisjahbana, 2002).
Demikianlah, selain ekonominya mengalami kontraksi terparah, usaha kecil di propinsi-propinsi di pulau Jawa juga lebih menderita akibat krisis ekonomi. Sementara itu, menurut hasil analisis Watterberg, dkk (1999), dampak sosial dari krisis ekonomi amat terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan di Jawa, serta sejumlah propinsi di Indonesia bagian Timur. Dengan kata lain, terdapat indikasi adanya dimensi spasial dari krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997.
Dalam konteks UKM, salah satu pertanyaan yang menarik untuk dimunculkan adalah apakah krisis ekonomi betul-betul membawa pengaruh pada dinamika spasial UKM? Tulisan ini hanya mengamati salah satu aspek saja dari dinamika spasial UKM, yakni distribusi spasialnya. Dapat dikemukakan bahwa selama ini sejumlah studi sudah dilakukan untuk mengamati distribusi spasial industri manufaktur, khususnya yang berskala besar dan menengah, misalnya Azis (1994), Hill (1996), Kuncoro (2000a), Sjöberg dan Sjöholm (2002). Namun, pengamatan serupa terhadap UKM tampaknya masih belum banyak dilakukan (Kuncoro, 2000b).
BERTAHAN DENGAN UKM
Krisis ekonomi, apalagi yang sangat parah, tentu telah menyulitkan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam hal ini bukanlah hal yang mengejutkan kalau pengangguran, hilangnya penghasilan serta kesulitan memenuhi kebutuhan pokok merupakan persoalan-persoalan sosial yang sangat dirasakan masyarakat sebagai akibat dari krisis ekonomi. Hasil survei yang dilakukan Bank Dunia bekerjasama dengan Ford Foundation dan Badan Pusat Statistik (September-Oktober 1998) menegaskan bahwa ketiga persoalan itu oleh masyarakat ditempatkan sebagai persoalan prioritas atau harus segera mendapatkan penyelesaian (Watterberg dkk, 1999). Dengan kata lain, ketiga hal itu merupakan persoalan sangat pelik yang dihadapi masyarakat pada umumnya.
Kondisi ketenagakerjaan pada masa krisis kiranya dapat memberikan gambaran dampak sosial dari krisis ekonomi (Tabel 1). Tingkat pengangguran mengalami kenaikan dari 4,9 persen pada tahun 1996 menjadi 6,1 persen pada tahun 2000. Krisis ekonomi juga telah membalikkan tren formalisasi ekonomi sebagaimana tampak dari berkurangnya pangsa pekerja sektor formal menjadi 35,1. Dengan kata lain, peran sektor informal menjadi terasa penting dalam periode krisis ekonomi. Sektor informal sendiri merupakan sektor dimana sebagian besar tenaga kerja Indonesia berada.
Sementara itu, belakangan ini banyak diungkapkan bahwa UKM memiliki peran penting bagi masyarakat di tengah krisis ekonomi. Dengan memupuk UKM diyakini pula akan dapat dicapai pemulihan ekonomi (Kompas. 14/12/2001). Hal serupa juga berlaku bagi sektor informal. Usaha kecil sendiri pada dasarnya sebagian besar bersifat informal dan karena itu relatif mudah untuk dimasuki oleh pelaku-pelaku usaha yang baru. Pendapat mengenai peran UKM atau sektor informal tersebut ada benarnya setidaknya bila dikaitkan dengan perannya dalam meminimalkan dampak sosial dari krisis ekonomi khususnya persoalan pengangguran dan hilangnya penghasilan masyarakat.
UKM boleh dikatakan merupakan salah satu solusi masyarakat untuk tetap bertahan dalam menghadapi krisis yakni dengan melibatkan diri dalam aktivitas usaha kecil terutama yang berkarakteristik informal. Dengan hal ini maka persoalan pengangguran sedikit banyak dapat tertolong dan implikasinya adalah juga dalam hal pendapatan. Bagaimana dengan anjloknya pendapatan masyarakat yang tentu saja mengurangi daya beli masyarakat terhadap produk-produk yang sebelumnya banyak disuplai oleh usaha berskala besar? Bukan tidak mungkin produk-produk UKM justru menjadi substitusi bagi produk-produk usaha besar yang mengalami kebangkrutan atau setidaknya masa-masa sulit akibat krisis ekonomi. Jika demikian halnya maka kecenderungan tersebut sekaligus juga merupakan respon terhadap merosotnya daya beli masyarakat.
Gambar di atas—disusun berdasarkan Hasil Survei Usaha Terintegrasi yang dilakukan BPS—kiranya dapat berguna untuk memberikan gambaran bagaimana peranan UKM bagi masyarakat di masa krisis.[1] Survei tersebut terbatas hanya pada UKM yang tidak berbadan hukum sehingga hasilnya dapat juga merefleksikan sektor informal. Seluruh sektor ekonomi dicakup oleh survei tersebut, kecuali sektor pertanian. Oleh karena tidak mencakup sektor pertanian, maka hasil survei tersebut akan lebih mencerminkan UKM di perkotaan mengingat sektor pertanian sebagian besar berada di wilayah pedesaan. Hal ini menjadi penting karena Watterberg dkk (1999) juga menyimpulkan bahwa dampak sosial dari krisis ekonomi lebih terkonsentrasi di wilayah perkotaan.
[1] Data UKM tersebut bersumber dari publikasi BPS berjudul Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum Indonesia tahun 1998 dan tahun 2000.Hasil survei tersebut hanya mencakup UKM non-pertanian yang tidak berbadan hukum sehingga secara konseptual hasil survei tersebut juga merefleksikan sektor informal kendati secara terbatas (www.bps.go.id). Oleh karena tidak mencakup sektor pertanian, maka data yang ada di sini barangkali pula lebih mencerminkan UKM di perkotaan mengingat sektor pertanian sebagian besar berada di wilayah pedesaan. Perlu ditambahkan bahwa pada tahun 1997 tidak ada survei. Selain itu, untuk tahun 1999 dan 2000 tidak ada data untuk Propinsi Maluku. Selanjutnya, yang dimaksud dengan UKM dalam tulisan ini adalah sebagaimana definisi UKM tersebut.
Secara umum, hasil survei BPS di atas menunjukkan beberapa kecenderungan menarik. Dari gambar 1 tampak bahwa jumlah unit usaha UKM cenderung berkurang. Jumlah unit usaha pada tahun 2000 masih tetap lebih sedikit dibandingkan sebelum krisis ekonomi. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah tenaga kerja. Hanya saja, penurunan jumlah tenaga kerja tidaklah setajam penurunan jumlah unit usaha. Oleh karena itu, tenaga kerja yang diserap oleh masing-masing unit usaha secara rata-rata justru mengalami kenaikan. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa UKM sebetulnya juga mempunyai keunggulan dalam menyerap tenaga kerja di masa krisis ekonomi. Krisis ekonomi rupanya telah mempertinggi kemampuan masing-masing UKM untuk menyerap tenaga kerja. Dengan kata lain, sektor tersebut telah turut berperan dalam mengatasi persoalan pengangguran yang diakibatkan oleh krisis ekonomi.
Data-data tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa UKM memiliki kemampuan untuk menjadi pilar penting bagi perekonomian masyarakat dalam menghadapi terpaan krisis ekonomi. Hal ini tidak lepas dari kemampuan UKM untuk merespon krisis ekonomi secara cepat dan fleksibel dibandingkan kemampuan usaha besar (Berry dkk, 2001). Namun demikian, ada pendapat bahwa sektor informal tidaklah memberikan perbaikan secara berarti terhadap taraf hidup para pekerjanya. Hidup di sektor informal hanyalah hidup secara subsisten (Basri, 2002).
DISTRIBUSI SPASIAL UKM
Pertanyaan awal yang perlu diperjelas di sini adalah apa indikator UKM yang digunakan. UKM pada dasarnya adalah aktivitas ekonomi sementara aktivitas ekonomi sendiri secara umum dapat diindikasikan oleh tenaga kerja maupun nilai tambahnya (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Dalam tulisan ini, indikator yang akan digunakan adalah tenaga kerja UKM disertai jumlah unit usahanya sebagai pelengkap.[2]
[2] Dalam konteks industri manufaktur, penggunaan tenaga kerja dan nilai tambah secara bersama-sama sebagai indikator aktivitas ekonomi dapat mencegah terjadi kesimpulan yang bias oleh karena perbedaan distribusi spasial dari industri-industri yang berbeda dimana ada yang bersifat padat tenaga kerja dan ada yang padat modal (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Namun dalam konteks UKM, bias itu mungkin tidak terlalu besar mengingat sebagian besar lebih mengandalkan tenaga kerja, termasuk yang tidak dibayar (lihat, Kuncoro, 2000a).
Seperti juga industri manufaktur besar dan menengah, distribusi spasial UKM dalam kurun waktu 1996-2000 juga terpusat di Pulau Jawa. Pada tahun 1996, sekitar 66 persen UKM Indonesia berada di Jawa (Tabel 2). Sejak terjadi krisis ekonomi, UKM justru makin memusat di Jawa, yakni menjadi sekitar 68 persen dari seluruh unit usaha UKM yang ada di Indonesia. Dari lima propinsi di Jawa, hanya DKI Jakarta saja yang cenderung mengalami penurunan andil, sedangkan Jawa Tengah mengalami peningkatan secara sinambung. Selain propinsi-propinsi Jawa, hanya Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan saja yang andilnya dalam jumlah UKM cukup tinggi.
Selain dari jumlah unit usaha, distribusi spasial tersebut tentu perlu pula dilihat dari sisi tenaga kerja. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa krisis ekonomi mulanya menurunkan pangsa pulau Jawa, namun mulai tahun 1998 pangsa Jawa kembali meningkat sampai menjadi 66 persen pada tahun 2000. Sedangkan Sumatera justru sebaliknya, yakni meningkat pada tahun 1998 namun kemudian terus menurun sampai menjadi kurang dari 16 persen pada tahun 2000.
Untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih kuat, perkembangan penyebaran regional dari UKM dapat dilihat dari konsentrasi spasialnya. Konsentrasi spasial di sini menunjuk kepada terkonsentrasinya UKM pada beberapa daerah saja. Sebagai contoh, dalam studinya yang mengukur trend konsentrasi spasial industri di Indonesia 1976-1995, Kuncoro menggunakan Indeks Entropi Theil (Kuncoro, 2000a). Sedangkan untuk kasus industri manufaktur Indonesia 1980 dan 1996, Sjöberg dan Sjöholm (2002) menggunakan indeks Herfindahl dan indeks Ellison-Glaeser.
Kuncoro menemukan bahwa sampai sebelum tahun 1988, konsentrasi spasial industri memiliki pola menurun, namun sejak memasuki periode deregulasi, konsentrasi spasial tersebut justru mengalami peningkatan. Dicatat pula bahwa peningkatan konsentrasi spasial jauh lebih mencolok di Jawa daripada Sumatera maupun pulau-pulau lainnya di Indonesia. Masih menurut Kuncoro (2002b), dalam kasus Indonesia, deregulasi perdagangan bersama dengan serangkaian deregulasi yang diterapkan justru memperkuat konsentrasi spasial industri manufaktur.
Sedangkan untuk kasus industri manufaktur Indonesia 1980 dan 1996, Sjöberg dan Sjöholm (2002) menggunakan indeks Herfindahl dan indeks Ellison-Glaeser terhadap data tenaga kerja maupun nilai tambah yang dihasilkan industri manufaktur. Kesimpulan yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan temuan Kuncoro. Dari analisisnya, Sjöberg dan Sjöholm memukan bahwa tingkat konsentrasi spasial industri manufaktur dalam kurun waktu 1980-1996 tidaklah berkurang. Ditambahkan pula bahwa liberalisasi perdagangan yang dimulai tahun 1983 telah gagal menurunkan tingkat konsentrasi industri manufaktur.
Kendati ukuran konsentrasi spasial yang digunakan berbeda, kedua studi tersebut di atas memperoleh kesimpulan yang relatif serupa. Dalam tulisan ini ukuran konsentrasi spasial yang digunakan adalah indeks Herfindahl yang diterapkan baik terhadap data unit usaha maupun jumlah pekerja UKM. Hasil perhitungan indeks Herfindahl tersebut disajikan dalam Gambar 3.
Sebelum krisis, tingkat konsentrasi spasial unit usaha UKM adalah 0,126. Sebagai perbandingan, indeks Herfindahl industri manufaktur Indonesia tahun 1996 adalah 0,190 (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Hal ini tidak berubah banyak pada satu tahun setelah terjadi krisis ekonomi. Namun pada tahun 1999 konsentrasi spasial unit usaha UKM mengalami peningkatan cukup tinggi dan belum menurun secara berarti pada tahun 2000. Namun jika dilihat dari tenaga kerja, setelah krisis justru terjadi penurunan tingkat konsentrasi spasial kendati relatif kecil. Tahun 1999 dan 2000, indeks Herfindahl pekerja UKM meningkat menjadi lebih dari 0,12. Hal ini memberikan indikasi bahwa sejak terjadi krisis ekonomi, ada kecenderungan menguatnya konsentrasi spasial UKM di Indonesia. Kendati demikian, peningkatan konsentrasi spasial tersebut sebetulnya relatit tidak terlalu besar.
PENUTUP
Sejak terjadi krisis ekonomi 1997, UKM memainkan peran dalam mengatasi persoalan ketenagakerjaan. Data yang ada menunjukkan bahwa peran tersebut cukup penting. Namun demikian bagaimana penyerapan tenaga kerja oleh UKM dari aspek spasial tampak masih kurang teramati. Dalam tulisan ini yang diamati barulah soal distribusi spasial UKM dan belum sampai pada determinan dari dinamika spasial UKM itu sendiri.
Dari analisis dapat disimpulkan bahwa sampai dengan tahun 2000, UKM (non pertanian yang tidak berbadan hukum) masih tetap terkonsentrasi di pulau Jawa, baik dilihat dari sisi jumlah usaha maupun jumlah pekerjanya. Terdapat pula indikasi menguatnya konsentrasi spasial UKM tersebut sejak krisis ekonomi melanda Indonesia. Indikasi tersebut kiranya masih perlu dilengkapi dengan upaya mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dinamika spasial UKM sebagaimana dilakukan dalam studi-studi terhadap idustri manufaktur pada umumnya.***
Oleh: Aloysius Gunadi Brata -- Lembaga Penelitian Universitas Atmajaya, Yogyakarta (UAJY).
PUSTAKA
Akita, T dan A. Alisjahbana, 2002, “Regional Income Inequality in Indonesia and the Initial Impact of the Economic Crisis”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 38 (2): 201-222.
Azis, I. J., 1994, Ilmu Ekonomi Regional Dan Beberapa Penerapannya di Indonesia. Jakarta, LP-FEUI.
Basri, M. C., 2002, “Wajah Murung Ketenagakerjaan Kita”. Kompas, 25 November.
Berry, A., E. Rodriquez, dan H. Sandeem, 2001, “Small and Medium Enterprises Dynamics in Indonesia.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 37 (3): 363-384.
Hill, H., 1996, Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966: Sebuah Studi Kritis dan Komprehensif. Yogyakarta, PAU-UGM dan Tiara Wacana.
Kompas, 2001, “Memupuk UKM, Menuai Pemulihan Ekonomi”. 14 Desember 2001.
Kuncoro, M., 2002a, Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Kuncoro, M., 2002b, “A Quest for Industrial Districts: An Empirical Study of Manufacturing Industries in Java.” Makalah disajikan dalam lokakarya Economic Growth and Institutional Change in Indonesia during the 19th and 20th Centuries, Amsterdam 25-26 Februari.
Sjöberg, Ö dan F. Sjöholm, 2002, “Trade Liberalization and the Geography of Production: Agglomeration, Concentration and Dispersal in Indonesia’s Manufacturing Industry. SSE/EFI Working Paper Series in Economic and Finance No 488.
Suryahadi, A., W. Widyanti, D. Perwira, S. Sumarto, 2003, “Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Formal Sector”, Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 39 No 1, 29-50.
Watterberg, A., S. Sumarto, L. Prittchett. 1999. “A National Snapshot of the Social Impact of Indonesia’s Crisis”. Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 35 No 3, 145-152.
Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia. Sebagai gambaran, kendati sumbangannya dalam output nasional (PDRB) hanya 56,7 persen dan dalam ekspor nonmigas hanya 15 persen, namun UKM memberi kontribusi sekitar 99 persen dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta mempunyai andil 99,6 persen dalam penyerapan tenaga kerja (Kompas, 14/12/2001). Namun, dalam kenyataannya selama ini UKM kurang mendapatkan perhatian. Dapat dikatakan bahwa kesadaran akan pentingnya UKM dapat dikatakan barulah muncul belakangan ini saja.
Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari negara berkembang belakangan ini memandang penting keberadaan UKM (Berry, dkk, 2001). Alasan pertama adalah karena kinerja UKM cenderung lebih baik dalam hal menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Kedua, sebagai bagian dari dinamikanya, UKM sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi. Ketiga adalah karena sering diyakini bahwa UKM memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas ketimbang usaha besar. Kuncoro (2000a) juga menyebutkan bahwa usaha kecil dan usaha rumah tangga di Indonesia telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah unit usaha dan mendukung pendapatan rumah tangga.
Alasan yang ketiga yang dikemukakan Berry dkk di atas sangat relevan dalam konteks Indonesia yang tengah mengalami krisis ekonomi. Aspek fleksibilitas tersebut menarik pula dihubungkan dengan hasil studi Akatiga berdasarkan survei di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Sumatra Utara. Temuan Akatiga tersebut seperti dikutip Berry dkk (2001) adalah bahwa usaha kecil di Jawa lebih menderita akibat krisis daripada luar Jawa, begitu pula yang di perkotaan bila dibandingkan dengan yang di pedesaan.
Sementara itu, berdasarkan data PDRB, krisis ekonomi telah menyebabkan propinsi-propinsi di Jawa mengalami kontraksi ekonomi yang lebih besar ketimbang daerah-daerah lain di Indonesia (lihat gambar berikut). Lima propinsi di Jawa seluruhnya adalah lima besar propinsi di Indonesia yang mengalami kemorosotan ekonomi terparah. Pada tahun 1998, saat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi terparah, hanya Papua saja yang pertumbuhan ekonominya masih positif sedangkan propinsi-propinsi lainnya mengalami kontraksi. Pada tahun tersebut, seluruh propinsi di pulau Jawa mengalami kontraksi ekonomi yang jauh lebih parah daripada propinsi-propinsi lainnya (lihat juga Akita dan Alisjahbana, 2002).
Demikianlah, selain ekonominya mengalami kontraksi terparah, usaha kecil di propinsi-propinsi di pulau Jawa juga lebih menderita akibat krisis ekonomi. Sementara itu, menurut hasil analisis Watterberg, dkk (1999), dampak sosial dari krisis ekonomi amat terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan di Jawa, serta sejumlah propinsi di Indonesia bagian Timur. Dengan kata lain, terdapat indikasi adanya dimensi spasial dari krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997.
Dalam konteks UKM, salah satu pertanyaan yang menarik untuk dimunculkan adalah apakah krisis ekonomi betul-betul membawa pengaruh pada dinamika spasial UKM? Tulisan ini hanya mengamati salah satu aspek saja dari dinamika spasial UKM, yakni distribusi spasialnya. Dapat dikemukakan bahwa selama ini sejumlah studi sudah dilakukan untuk mengamati distribusi spasial industri manufaktur, khususnya yang berskala besar dan menengah, misalnya Azis (1994), Hill (1996), Kuncoro (2000a), Sjöberg dan Sjöholm (2002). Namun, pengamatan serupa terhadap UKM tampaknya masih belum banyak dilakukan (Kuncoro, 2000b).
BERTAHAN DENGAN UKM
Krisis ekonomi, apalagi yang sangat parah, tentu telah menyulitkan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam hal ini bukanlah hal yang mengejutkan kalau pengangguran, hilangnya penghasilan serta kesulitan memenuhi kebutuhan pokok merupakan persoalan-persoalan sosial yang sangat dirasakan masyarakat sebagai akibat dari krisis ekonomi. Hasil survei yang dilakukan Bank Dunia bekerjasama dengan Ford Foundation dan Badan Pusat Statistik (September-Oktober 1998) menegaskan bahwa ketiga persoalan itu oleh masyarakat ditempatkan sebagai persoalan prioritas atau harus segera mendapatkan penyelesaian (Watterberg dkk, 1999). Dengan kata lain, ketiga hal itu merupakan persoalan sangat pelik yang dihadapi masyarakat pada umumnya.
Kondisi ketenagakerjaan pada masa krisis kiranya dapat memberikan gambaran dampak sosial dari krisis ekonomi (Tabel 1). Tingkat pengangguran mengalami kenaikan dari 4,9 persen pada tahun 1996 menjadi 6,1 persen pada tahun 2000. Krisis ekonomi juga telah membalikkan tren formalisasi ekonomi sebagaimana tampak dari berkurangnya pangsa pekerja sektor formal menjadi 35,1. Dengan kata lain, peran sektor informal menjadi terasa penting dalam periode krisis ekonomi. Sektor informal sendiri merupakan sektor dimana sebagian besar tenaga kerja Indonesia berada.
Sementara itu, belakangan ini banyak diungkapkan bahwa UKM memiliki peran penting bagi masyarakat di tengah krisis ekonomi. Dengan memupuk UKM diyakini pula akan dapat dicapai pemulihan ekonomi (Kompas. 14/12/2001). Hal serupa juga berlaku bagi sektor informal. Usaha kecil sendiri pada dasarnya sebagian besar bersifat informal dan karena itu relatif mudah untuk dimasuki oleh pelaku-pelaku usaha yang baru. Pendapat mengenai peran UKM atau sektor informal tersebut ada benarnya setidaknya bila dikaitkan dengan perannya dalam meminimalkan dampak sosial dari krisis ekonomi khususnya persoalan pengangguran dan hilangnya penghasilan masyarakat.
UKM boleh dikatakan merupakan salah satu solusi masyarakat untuk tetap bertahan dalam menghadapi krisis yakni dengan melibatkan diri dalam aktivitas usaha kecil terutama yang berkarakteristik informal. Dengan hal ini maka persoalan pengangguran sedikit banyak dapat tertolong dan implikasinya adalah juga dalam hal pendapatan. Bagaimana dengan anjloknya pendapatan masyarakat yang tentu saja mengurangi daya beli masyarakat terhadap produk-produk yang sebelumnya banyak disuplai oleh usaha berskala besar? Bukan tidak mungkin produk-produk UKM justru menjadi substitusi bagi produk-produk usaha besar yang mengalami kebangkrutan atau setidaknya masa-masa sulit akibat krisis ekonomi. Jika demikian halnya maka kecenderungan tersebut sekaligus juga merupakan respon terhadap merosotnya daya beli masyarakat.
Gambar di atas—disusun berdasarkan Hasil Survei Usaha Terintegrasi yang dilakukan BPS—kiranya dapat berguna untuk memberikan gambaran bagaimana peranan UKM bagi masyarakat di masa krisis.[1] Survei tersebut terbatas hanya pada UKM yang tidak berbadan hukum sehingga hasilnya dapat juga merefleksikan sektor informal. Seluruh sektor ekonomi dicakup oleh survei tersebut, kecuali sektor pertanian. Oleh karena tidak mencakup sektor pertanian, maka hasil survei tersebut akan lebih mencerminkan UKM di perkotaan mengingat sektor pertanian sebagian besar berada di wilayah pedesaan. Hal ini menjadi penting karena Watterberg dkk (1999) juga menyimpulkan bahwa dampak sosial dari krisis ekonomi lebih terkonsentrasi di wilayah perkotaan.
[1] Data UKM tersebut bersumber dari publikasi BPS berjudul Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum Indonesia tahun 1998 dan tahun 2000.Hasil survei tersebut hanya mencakup UKM non-pertanian yang tidak berbadan hukum sehingga secara konseptual hasil survei tersebut juga merefleksikan sektor informal kendati secara terbatas (www.bps.go.id). Oleh karena tidak mencakup sektor pertanian, maka data yang ada di sini barangkali pula lebih mencerminkan UKM di perkotaan mengingat sektor pertanian sebagian besar berada di wilayah pedesaan. Perlu ditambahkan bahwa pada tahun 1997 tidak ada survei. Selain itu, untuk tahun 1999 dan 2000 tidak ada data untuk Propinsi Maluku. Selanjutnya, yang dimaksud dengan UKM dalam tulisan ini adalah sebagaimana definisi UKM tersebut.
Secara umum, hasil survei BPS di atas menunjukkan beberapa kecenderungan menarik. Dari gambar 1 tampak bahwa jumlah unit usaha UKM cenderung berkurang. Jumlah unit usaha pada tahun 2000 masih tetap lebih sedikit dibandingkan sebelum krisis ekonomi. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah tenaga kerja. Hanya saja, penurunan jumlah tenaga kerja tidaklah setajam penurunan jumlah unit usaha. Oleh karena itu, tenaga kerja yang diserap oleh masing-masing unit usaha secara rata-rata justru mengalami kenaikan. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa UKM sebetulnya juga mempunyai keunggulan dalam menyerap tenaga kerja di masa krisis ekonomi. Krisis ekonomi rupanya telah mempertinggi kemampuan masing-masing UKM untuk menyerap tenaga kerja. Dengan kata lain, sektor tersebut telah turut berperan dalam mengatasi persoalan pengangguran yang diakibatkan oleh krisis ekonomi.
Data-data tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa UKM memiliki kemampuan untuk menjadi pilar penting bagi perekonomian masyarakat dalam menghadapi terpaan krisis ekonomi. Hal ini tidak lepas dari kemampuan UKM untuk merespon krisis ekonomi secara cepat dan fleksibel dibandingkan kemampuan usaha besar (Berry dkk, 2001). Namun demikian, ada pendapat bahwa sektor informal tidaklah memberikan perbaikan secara berarti terhadap taraf hidup para pekerjanya. Hidup di sektor informal hanyalah hidup secara subsisten (Basri, 2002).
DISTRIBUSI SPASIAL UKM
Pertanyaan awal yang perlu diperjelas di sini adalah apa indikator UKM yang digunakan. UKM pada dasarnya adalah aktivitas ekonomi sementara aktivitas ekonomi sendiri secara umum dapat diindikasikan oleh tenaga kerja maupun nilai tambahnya (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Dalam tulisan ini, indikator yang akan digunakan adalah tenaga kerja UKM disertai jumlah unit usahanya sebagai pelengkap.[2]
[2] Dalam konteks industri manufaktur, penggunaan tenaga kerja dan nilai tambah secara bersama-sama sebagai indikator aktivitas ekonomi dapat mencegah terjadi kesimpulan yang bias oleh karena perbedaan distribusi spasial dari industri-industri yang berbeda dimana ada yang bersifat padat tenaga kerja dan ada yang padat modal (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Namun dalam konteks UKM, bias itu mungkin tidak terlalu besar mengingat sebagian besar lebih mengandalkan tenaga kerja, termasuk yang tidak dibayar (lihat, Kuncoro, 2000a).
Seperti juga industri manufaktur besar dan menengah, distribusi spasial UKM dalam kurun waktu 1996-2000 juga terpusat di Pulau Jawa. Pada tahun 1996, sekitar 66 persen UKM Indonesia berada di Jawa (Tabel 2). Sejak terjadi krisis ekonomi, UKM justru makin memusat di Jawa, yakni menjadi sekitar 68 persen dari seluruh unit usaha UKM yang ada di Indonesia. Dari lima propinsi di Jawa, hanya DKI Jakarta saja yang cenderung mengalami penurunan andil, sedangkan Jawa Tengah mengalami peningkatan secara sinambung. Selain propinsi-propinsi Jawa, hanya Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan saja yang andilnya dalam jumlah UKM cukup tinggi.
Selain dari jumlah unit usaha, distribusi spasial tersebut tentu perlu pula dilihat dari sisi tenaga kerja. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa krisis ekonomi mulanya menurunkan pangsa pulau Jawa, namun mulai tahun 1998 pangsa Jawa kembali meningkat sampai menjadi 66 persen pada tahun 2000. Sedangkan Sumatera justru sebaliknya, yakni meningkat pada tahun 1998 namun kemudian terus menurun sampai menjadi kurang dari 16 persen pada tahun 2000.
Untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih kuat, perkembangan penyebaran regional dari UKM dapat dilihat dari konsentrasi spasialnya. Konsentrasi spasial di sini menunjuk kepada terkonsentrasinya UKM pada beberapa daerah saja. Sebagai contoh, dalam studinya yang mengukur trend konsentrasi spasial industri di Indonesia 1976-1995, Kuncoro menggunakan Indeks Entropi Theil (Kuncoro, 2000a). Sedangkan untuk kasus industri manufaktur Indonesia 1980 dan 1996, Sjöberg dan Sjöholm (2002) menggunakan indeks Herfindahl dan indeks Ellison-Glaeser.
Kuncoro menemukan bahwa sampai sebelum tahun 1988, konsentrasi spasial industri memiliki pola menurun, namun sejak memasuki periode deregulasi, konsentrasi spasial tersebut justru mengalami peningkatan. Dicatat pula bahwa peningkatan konsentrasi spasial jauh lebih mencolok di Jawa daripada Sumatera maupun pulau-pulau lainnya di Indonesia. Masih menurut Kuncoro (2002b), dalam kasus Indonesia, deregulasi perdagangan bersama dengan serangkaian deregulasi yang diterapkan justru memperkuat konsentrasi spasial industri manufaktur.
Sedangkan untuk kasus industri manufaktur Indonesia 1980 dan 1996, Sjöberg dan Sjöholm (2002) menggunakan indeks Herfindahl dan indeks Ellison-Glaeser terhadap data tenaga kerja maupun nilai tambah yang dihasilkan industri manufaktur. Kesimpulan yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan temuan Kuncoro. Dari analisisnya, Sjöberg dan Sjöholm memukan bahwa tingkat konsentrasi spasial industri manufaktur dalam kurun waktu 1980-1996 tidaklah berkurang. Ditambahkan pula bahwa liberalisasi perdagangan yang dimulai tahun 1983 telah gagal menurunkan tingkat konsentrasi industri manufaktur.
Kendati ukuran konsentrasi spasial yang digunakan berbeda, kedua studi tersebut di atas memperoleh kesimpulan yang relatif serupa. Dalam tulisan ini ukuran konsentrasi spasial yang digunakan adalah indeks Herfindahl yang diterapkan baik terhadap data unit usaha maupun jumlah pekerja UKM. Hasil perhitungan indeks Herfindahl tersebut disajikan dalam Gambar 3.
Sebelum krisis, tingkat konsentrasi spasial unit usaha UKM adalah 0,126. Sebagai perbandingan, indeks Herfindahl industri manufaktur Indonesia tahun 1996 adalah 0,190 (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Hal ini tidak berubah banyak pada satu tahun setelah terjadi krisis ekonomi. Namun pada tahun 1999 konsentrasi spasial unit usaha UKM mengalami peningkatan cukup tinggi dan belum menurun secara berarti pada tahun 2000. Namun jika dilihat dari tenaga kerja, setelah krisis justru terjadi penurunan tingkat konsentrasi spasial kendati relatif kecil. Tahun 1999 dan 2000, indeks Herfindahl pekerja UKM meningkat menjadi lebih dari 0,12. Hal ini memberikan indikasi bahwa sejak terjadi krisis ekonomi, ada kecenderungan menguatnya konsentrasi spasial UKM di Indonesia. Kendati demikian, peningkatan konsentrasi spasial tersebut sebetulnya relatit tidak terlalu besar.
PENUTUP
Sejak terjadi krisis ekonomi 1997, UKM memainkan peran dalam mengatasi persoalan ketenagakerjaan. Data yang ada menunjukkan bahwa peran tersebut cukup penting. Namun demikian bagaimana penyerapan tenaga kerja oleh UKM dari aspek spasial tampak masih kurang teramati. Dalam tulisan ini yang diamati barulah soal distribusi spasial UKM dan belum sampai pada determinan dari dinamika spasial UKM itu sendiri.
Dari analisis dapat disimpulkan bahwa sampai dengan tahun 2000, UKM (non pertanian yang tidak berbadan hukum) masih tetap terkonsentrasi di pulau Jawa, baik dilihat dari sisi jumlah usaha maupun jumlah pekerjanya. Terdapat pula indikasi menguatnya konsentrasi spasial UKM tersebut sejak krisis ekonomi melanda Indonesia. Indikasi tersebut kiranya masih perlu dilengkapi dengan upaya mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dinamika spasial UKM sebagaimana dilakukan dalam studi-studi terhadap idustri manufaktur pada umumnya.***
Oleh: Aloysius Gunadi Brata -- Lembaga Penelitian Universitas Atmajaya, Yogyakarta (UAJY).
PUSTAKA
Akita, T dan A. Alisjahbana, 2002, “Regional Income Inequality in Indonesia and the Initial Impact of the Economic Crisis”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 38 (2): 201-222.
Azis, I. J., 1994, Ilmu Ekonomi Regional Dan Beberapa Penerapannya di Indonesia. Jakarta, LP-FEUI.
Basri, M. C., 2002, “Wajah Murung Ketenagakerjaan Kita”. Kompas, 25 November.
Berry, A., E. Rodriquez, dan H. Sandeem, 2001, “Small and Medium Enterprises Dynamics in Indonesia.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 37 (3): 363-384.
Hill, H., 1996, Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966: Sebuah Studi Kritis dan Komprehensif. Yogyakarta, PAU-UGM dan Tiara Wacana.
Kompas, 2001, “Memupuk UKM, Menuai Pemulihan Ekonomi”. 14 Desember 2001.
Kuncoro, M., 2002a, Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Kuncoro, M., 2002b, “A Quest for Industrial Districts: An Empirical Study of Manufacturing Industries in Java.” Makalah disajikan dalam lokakarya Economic Growth and Institutional Change in Indonesia during the 19th and 20th Centuries, Amsterdam 25-26 Februari.
Sjöberg, Ö dan F. Sjöholm, 2002, “Trade Liberalization and the Geography of Production: Agglomeration, Concentration and Dispersal in Indonesia’s Manufacturing Industry. SSE/EFI Working Paper Series in Economic and Finance No 488.
Suryahadi, A., W. Widyanti, D. Perwira, S. Sumarto, 2003, “Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Formal Sector”, Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 39 No 1, 29-50.
Watterberg, A., S. Sumarto, L. Prittchett. 1999. “A National Snapshot of the Social Impact of Indonesia’s Crisis”. Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 35 No 3, 145-152.
Mengingat masa kelam Orde Baru yang se-ring disebut ”orde pembangunan”, membuat pedih. Timbul pertanyaan mengganjal, apakah pembangunan akan selalu membawa destabilisasi? Sebuah proses yang mengakibatkan disparitas sosial-ekonomi membesar akibat laju modernisasi dan industrialisasi, serta menguntungkan sebagian kecil masyarakat? Timbul pula pertanyaan yang menggelisahkan, apakah sebuah ketakterhindaran (inevitability) historis, pembangunan selalu mengorbankan kebebasan manusia?
Rasanya masih seperti kemarin, jargon pembangunan begitu ”suci” sehingga atas namanya menjadi ”sahih” merampas hak-hak asasi manusia. Tentu belum kering dari ingatan, berbagai kasus yang mentorpedo rasa keadilan seperti Kedung Ombo, Nipah, Jenggawah, dan berbagai penggusuran yang mengatasnamakan ”pembangunan”. Berkecamuk pertanyaan, apakah untuk mencapai kesejahteraan harus selalu ada ”tumbal” (jer basuki mawa bea)?
Sayup-sayup, kini terdengar suara lain dan mulai terdengar nyaring. Suara tersebut antara lain dari Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998. Menurutnya pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost. Pembangunan, ujar Sen, adalah se-suatu yang "bersahabat". Pembangunan, seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy).
Asumsi dari pemikiran Sen, bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas.
Diakibatkan keterbatasan akses, ujar Sen, manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat di-lakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan). Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.
Temuan lapangan di Indonesia, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Amartya Sen. Lesson learned yang diperoleh dari Yayasan Pemulihan Keberdayaan Ma-syarakat (konsorsium 27 ja-ringan dan ornop besar yang membantu masyarakat keluar dari krisis), menyimpulkan, pe-nyebab kemiskinan adalah akibat ketiadaan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupan manusiawi. Pada dimensi ekonomi, akibat distribusi akses sumber daya ekonomi yang tak merata menyebabkan rakyat miskin tak dapat mengembangkan usaha produktifnya. Pada dimensi politik, akibat rakyat miskin sangat sulit mengakses dan terlibat berbagai kebijakan publik, maka kebijakan tersebut tak menguntungkan mereka.
Tesis yang dikemukakan Sen agar tercapainya kesejahteraan, yaitu melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (Development as Freedom). Hal itu, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Soedjatmoko (Development and Freedom). Freedom menurut Soedjatmoko merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya: patriarki, sikap nrimo,dan lain-lainnya).
Untuk memecahkan hal tersebut, diperlukan aspek emansipatoris. Yaitu aspek pembebasan masyarakat dari struktur-struktur yang menghambat, sehingga memungkinkan masyarakat memperkembangkan kemampuan atas dasar kekuatan sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et eloquens).
Pembangunan, dengan demikian berarti merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat.
Selama Orde Baru, secara sadar maupun tak sadar, telah terjadi ”kesalahan” besar yang dibuat bersama-sama. Dari tahun ke tahun, lembaran buku GBHN dan Pelita yang dicanangkan pemerintah makin tebal. Masyarakat profesi, para pakar maupun berbagai organisasi masyarakat, berlomba-lomba merumuskan berbagai persoalan, lalu diserahkan pada pemerintah.
Dengan demikian, masyarakat telah ”menyerahkan” kemandirian yang dimiliki, sehingga pemerintah semakin memiliki kekuatan, legitimasi, dan kedaulatan untuk melakukan berbagai hal (bahkan menjadi leviathan). Tragisnya, masyarakat merasa lega karena tak mengerjakan apa-apa, sebab semuanya telah diserahkan pada pemerintah. Meski sebenarnya, telah ”melumpuhkan” diri sendiri.
Pemerintah yang makin percaya diri, lalu merumuskan berbagai program dan proyek untuk dikerjakan. Feasibility studies (baca: penelitian pesanan) lalu dikerjakan oleh para ”intelektual tukang” maupun konsultan asing, untuk mengkreasi dan menjustifikasi urgensi adanya berbagai proyek. Lalu, utang pun digelontorkan. Berbagai proyek tiba-tiba bertebaran. Masyarakat pun melalui desas-desus akhirnya mengetahui dan mahfum, siapa di balik proyek. Tentu, tak jauh dari lingkaran kekuasaan.
Sebagai sebuah proyek, tentu mempunyai batas waktu. Dan akhirnya, dengan berakhirnya berbagai proyek dan usailah sudah semuanya. Dalam waktu singkat, berbagai proyek yang ada terbengkalai. Rakyat yang tak dilibatkan dalam proses, meski proyek tersebut ”ditujukan” untuk mereka, namun akibat tak ada rasa memiliki, rakyat pun tak peduli.
Begitulah, secara umum kondisi rakyat Indonesia menjadi lemah, terlemahkan, dan dilemahkan. Keberdayaan rakyat (civil society), lalu tertinggal. Namun, apakah rakyat benar-benar mengalami kelumpuhan sepenuhnya? Agaknya tidak. Krisis ekonomi, justru menunjukkan ”kedigdayaan” rakyat.
Pukulan krisis, membuat pertumbuhan ekonomi merosot -13,7% (1998), padahal tahun sebelumnya tumbuh +4,9%. Dengan kata lain, dalam satu tahun ekonomi Indonesia anjlok -18,6%. Namun dua tahun kemudian, ekonomi nasional telah tumbuh 4,8% (Seda, 2002). Anehnya, pada masa itu sedang terjadi capital flight sekitar $ 10 miliar per tahun, usaha-usaha besar ambruk, sedangkan investasi asing tak mau masuk akibat situasi sosial politik yang belum menentu.
Fenomena ini tentu membingungkan penganut ekonomi ortodoks, sebab dalam hitungan makro ekonomi mereka, hal ini tak mungkin terjadi. Dan akhirnya disadari, usaha-usaha ekonomi rakyat yang sering disebut usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ternyata telah menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan krisis. ”Investasi ekonomi rakyat” (underground economy) yang kerap dipandang dengan sebelah mata, ternyata justru menunjukkan kekuatannya.
***
Babakan sejarah yang pahit itu, kini secara berangsur telah ditinggalkan. Setidaknya, babakan itu menyadarkan bahwa orientasi production centered development yang menekankan pertumbuhan, investasi asing dan haus akan utang luar negeri, ternyata memiliki banyak kelemahan. Kue pembangunan ternyata hanya dikuasai sebagian kecil masyarakat, sementara kesenjangan melebar, dan pembangunan pun rapuh tak berakar (bubble economy).
Tujuan pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan bersama, maka cara untuk mencapainya pun seharusnya melalui upaya-upaya pencapaian kesejahteraan bersama. Cara sudah seharusnya konsisten dengan tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai demokrasi, tak ada jalan lain kecuali memakai cara-cara yang demokratis. Demikian pula, untuk mencapai kehidupan yang manusiawi, tentu harus dicapai dengan cara yang manusiawi pula.
Memfokuskan diri pada kesejahteraan rakyat, tentunya harus melalui jalan dari pembangkitan kekuatan rakyat itu sendiri atau dalam terminologi Korten disebut people centered development. Produksi juga merupakan bagian penting dalam pendekatan ini, namun bukan tujuan utama. Ikhwal menetapkan tujuan utama (goal), merupakan hal strategis yang tidak netral dan bebas nilai, sebab akan mempengaruhi paradigma (mindset) berpikir, metodologi dan pengorganisasian pencapaian tujuan. Pendekatan people centered development, menekankan pertumbuhan manusia (aktualisasi potensi manusia), pemerataan, keberlanjutan (sustainability), dan semangat kemandirian masyarakat sendiri.
Agenda ke Depan
Kini kita menghadapi persoalan konkret. Usaha-usaha besar, karena mendapat berbagai privilese tumbuh dengan cepat, namun kemudian ambruk. Usaha-usaha ekonomi rakyat, memang terbukti mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia dari krisis, namun tetap berjalan tertatih-tatih karena keterbatasan akses. Begitulah, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, setidaknya kedua modal itulah yang kini kita miliki.
Menyadari adanya dua modal tersebut, perlu ada transformasi agar kedua sektor usaha tersebut bisa berkembang (dual track), yaitu melalui pemberian akses dan peluang yang sama pada kedua sektor usaha tersebut. Dengan cara demikian, sektor usaha besar yang hidup dari kronisme, rente ekonomi dan fasilitas, mau tak mau harus berkompetisi secara sehat, sebab bila tidak akan jatuh. Sementara usaha besar yang berusaha secara wajar dan kompetitif, akan bisa terus berkembang. Sedangkan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), agar bisa memanfaatkan berbagai akses dan peluang yang ada, diperlukan pula adanya upaya peningkatan kapasitas (capacity building).
Dan perlu disadari, akibat adanya ”dualisme ekonomi” sektor kecil ini tak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan berbagai institusi modern. Bahkan seringkali, sektor modern justru makin meminggirkan mereka. Salah satu institusi modern yang sangat sulit diakses oleh UMKM, adalah perbankan.
Meski memobilisasi tabungan dari masyarakat luas, namun pelayanan pembiayaan bank lebih dimanfaatkan sektor besar. Akibatnya, acapkali institusi modern ini justru meningkatkan adanya kesenjangan. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan berbagai institusi modern yang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga dapat kompatibel dengan nilai-nilai dan budaya setempat agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas.
Demikianlah, dengan berbagai keterbukaan dan peluang, di mana masyarakat mempunyai kebebasan untuk memilih, maka masyarakat dapat mengembangkan berbagai potensi produktif mereka. Dengan demikian, pembangunan akan berkembang secara dinamik berdasar kekuatan masyarakat sendiri. Bila masyarakat telah tumbuh dan berdaya, maka pembangunan akan berurat berakar (rooted) pada rakyat, sehingga makin kuat dan kokoh menyangga bangsa ini.
Oleh: Setyo Budiantoro -- Direktur Kajian Ekonomi dan Pembangunan Center for Humanity and Civilization Studies (CHOICES) dan staf Ketua LSM Bina Swadaya.
http://www.ekonomirakyat.org/
Latar Belakang
Jaminan Sosial Nasional adalah program Pemerintah dan Masyarakat yang bertujuan memberi kepastian jumlah perlindungan kesejahteraan sosial agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Perlindungan ini diperlukan utamanya bila terjadi hilangnya atau berkurangnya pendapatan.
Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal jaminan sosial dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB (1948), dimana Indonesia ikut menandatanganinya. Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang, seperti terbaca pada Perubahan UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….”.
Perlindungan jaminan sosial mengenal beberapa pendekatan yang saling melengkapi yang direncanakan dalam jangka panjang dapat mencakup seluruh rakyat secara bertahap sesuai dengan perkembangan kemampuan ekonomi masyarakat. Pendekatan pertama adalah pendekatan asuransi sosial atau compulsory social insurance, yang dibiayai dari kontribusi/ premi yang dibayarkan oleh setiap tenaga kerja dan atau pemberi kerja. Kontribusi/ premi dimaksud selalu harus dikaitkan dengan tingkat pendapatan/ upah yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Pendekatan kedua berupa bantuan sosial (social assistance) baik dalam bentuk pemberian bantuan uang tunai maupun pelayanan dengan sumber pembiayan dari negara danbantuan sosial dan masyarakat lainnya.
Beberapa negara yang menganut welfare state yang selama ini memberikan jaminan sosial dalam bentuk bantuan sosial mulai menerapkan asuransi sosial. Utamanya karena jaminan melalui bantuan sosial membutuhkan dana yang besar dan tidak mendorong masyarakat merencanakan kesejahteraan bagi dirinya. [1] Disamping itu, dana yang terhimpun dalam asuransi sosial dapat merupakan tabungan nasional. Secara keseluruhan adanya jaminan sosial nasional dapat menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pengaturan dalam jaminan sosial ditinjau dari jenisnya terdiri dari jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pemutusan hubungan kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan santunan kematian.
[1] Australia, sejak tahun 1992, telah menerapkan asuransi sosial wajib.
Sebenarnya, selama dekade terakhir di Indonesia telah ada beberapa program jaminan sosial dalam bentuk asuransi sosial, namun baru mencakup sebagian kecil pekerja di sektor formal. Dari 95 juta angkatan kerja, baru 24,6 juta jiwa memperoleh jaminan sosial, atau baru 12% dari jumlah penduduk. Sementara di Thailand dan Malaysia masing-masing mencapai 50% dan 40% dari total penduduk. [2] Krisis ekonomi yang menyebabkan angka pengangguran melonjak dengan tajam telah menimbulkan berbagai masalah sosial ekonomi. Dalam kondisi seperti ini jaminan sosial dapat membantu menanggulangi gejolak sosial.
[2] Kantor Menko EKUIN bekerjasama dengan LPUI Kajian Kebijakan Jaminan Sosial, Desember 2002
Fakta tersebut membuktikan bahwa amanat UUD pasal 27 ayat 2 sebagian besar belum dapat dilaksanakan sehingga langkah-langkah nyata untuk mewujudkannya diperlukan, antara lain dengan menyusun suatu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Menyadari masih terbatasnya jangkauan jaminan sosial yang ada dan beberapa kekurangan dalam pengaturan dan penyelenggaraannya, serta betapa pentingnya peran jaminan sosial dalam pemberian perlindungan utamanya di saat berkurangnya pendapatan maka dianggap perlu menyusun Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui penerbitan Undang-undang yang akan mengatur Substansi, Kelembagaan dan Mekanisme Sistem Jaminan Sosial yang berlaku secara nasional. Sistem Jaminan Sosial yang akan dibangun ini haruslah sifatnya adil dengan tingkat kepercayaan publikyang tinggi dan transparan dalam penyelenggaraannya.
Putusan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001 menugaskan kepada Presiden untukmembentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu. Untuk itu Presiden mengambil inisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional. Presiden dengan Kepres No. 20 tahun 2002 membentuk Tim SJSN. Kepres ini didahului dengan Keputusan Sekretaris Wakil Presiden No. 7 Tahun 2001, semasa Ibu Presiden sebagai Wakil Presiden.
Saat ini Tim SJSN telah melakukan pembahasan yang cukup mendalam tentang substansi, kelembagaan, mekanisme dan program-program jaminan sosial. Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan dibangun bertumpu pada konsep asuransi sosial..
Substansi
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan disusun adalah suatu sistem yang berdasarkan pada asas gotong royong melalui pengumpulan iuran dan dikelola melalui mekanisme asuransi sosial. Pelaksanaannya diatur oleh suatu Undang-Undang dan diterapkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan dan kemampuan ekonomi Nasional serta kemudahan rekruitmen dan pengumpulan iuran secara rutin.
Besarnya iuran ditetapkan berdasarkan prosentase tertentu dari pendapatan. Cakupan kepesertaan dilakukan secara bertahap dimulai dari kelompok masyarakat yang mampu mengiur dan secara bertahap diupayakan menjangkau sampai pada kelompok masyarakat yang rentan dan tidak mampu, dimama iuran sebagian atau sepenuhnya dibayarkan oleh pemerintah.
Karena Jaminan Sosial Nasional tersebut diwujudkan melalui mekanisme asuransi sosial maka manfaat yang akan diperoleh peserta tergantung pada besarnya iuran. Manfaat yang diberikan harus cukup berarti sehingga mendorong kepesertaan yang kebih besar dari waktu ke waktu.
Jaminan Sosial Nasional tersebut perlu diatur agar bersifat wajib untuk seluruh tenaga kerja, baik di sektor formal maupun informal, baik yang berpendapatan besar maupun kecil sehinggan dapat terwujud asas kegotong-royongan dan redistribusi pendapatan dari yang kaya ke yang miskin. Cakupan kepesertaan dilakukan secara bertahap dimulai dari kelompok masyarakat yang mampu mengiur dan secara bertahap diupayakan menjangkau sampai pada kelompok masyarakat yang rentan dan tidak mampu, dimana iuran sebagian atau sepenuhnya dibayarkan oleh pemerintah. Karena ada unsur wajib bagi semua pekerja tersebut maka diperlukan adanya Undang-Undang untuk mengaturnya. Namun, secara sukarela pekerja dapat mengikuti program lain dengan kontribusi yang lebih besar dan memperoleh manfaat yang lebih banyak pula (asuransi komersil).
Pengelolaan Jaminan Sosial Nasional menganut prinsip Wali Amanah, yang mewakili stakeholder dalam hal ini peserta/ pekerja, pembekerja, dan pemerintah pengumpulan dan pengelola iuran perlu ditunjang oleh keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas dan efisiensi. Penyelenggaraan dilakukan non-for-profit. Pengertian non-for-profit bukanlah berarti tidak perlu mengembangkan atau menginvestasikan dalam rangka meningkatkan akumulasi dana yang ada, tetapi hasil yang diperoleh nantinya akan dikembalikan atau dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta (merupakan going concern asuransi sosial).
Program-Program SJSN
Program-program pokok SJSN yang akan dikembangkan disesuaikan dengan konvensi ILO No. 102 tahun 1952 yang juga diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (JPHK), Program Jaminan Hari Tua (JHT), Program Pensiun, dan Program Santunan Kematian.
Mekanisme SJSN
Mekanisme penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional meliputi pengaturan kepesertaan, iura, santunan/ manfaat, dan investasi. Perluasan cakupan kepesertaan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi ekonomi negara dan masyarakat, serta kemudahan dalam rekruitmen dan pengumpulannya secara rutin.
Besarnya iuran/ premi dihitung berdasarkan analisis aktuaria yang disesuaikan dengan programmanfaat yang akan diberikan, struktur dan trend demografi serta resiko yang dihadapi, ditetapkan dalam prosentase tertentu terhadap upah dengan mempertimbangkan kemampuan/ pendapatan penduduk. Iuran/ premi ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerjanya.
Pelayanan santunan dan klaim disesuaikan dengan besarnya iuran dan jenis program yang diikuti. Manfaat yang diberikan harus cukup berarti sehingga mendorong kepesertaan yang lebih besar dari waktu ke waktu.
Dana iuran/ premi/ kontribusi peserta yang terkumpul perlu dikelola dan diawasi oleh suatu Dewan Wali Amanah (Board of Trustee) dan hanya digunakan untuk kepentingan pesertanya sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Sebagian dana yang terkumpul perlu diinvestasikan dan dikembangkan seaman mungkin. Karena prinsip “non-for-profit”, maka hasil investasi tersebut akan dikembalikan dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
Untuk dapat menjamin efektifitas dan efisiensi penyelenggaraannya, diperlukan adanya dukungan Sistem Informasi Manajemen serta kemampuan Sumber Daya Manusia yang handal. Dalam pengelolaannya, perlu menerapkan “good corporate governance” (transparency, objectivity, accountibility, dan responsibility).
Kelembagaan
Dalam rangkan menjamin pelaksanaan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional diperlukan suatu lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menjabarkan Undang-undang SJSN, mengkoordinir, memonitor, dan mengawasi pelaksanaan program-program, pengelola dana dan investasi serta pemasyarakatan program Jaminan Sosial Nasional sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Lembaga ini berada langsung di bawah Presiden dibantu Dewan Menteri yang terkait dan beranggotakan wakil pemerintah, wakil pekerja, wakil pemberi kerja dan pakar di bidangnya.
Selama Undang-undang SJSN disiapkan maka lembaga-lembaga yang ada dapat melanjutkan kegiatannya, untuk kemudian setelah Undang-undang SJSN rampung dan dilaksanakan maka program-program yang sejalan dapat menyesuaikan dengan Undang-undang SJSN tersebut selama masa transisi yang akan ditetapkan. Tidak tertutup kemungkinan munculnya lembaga penyelenggaraan lain.
Penutup
Tim SJSN beranggotakan wakil dari berbagai instansi pemerintah, LSM dan Pakar. Konsep awal SJSN tersebut di atas juga telah menghimpun masukan dari beberapa serikat pekerja dan asosiasi pengusaha. Diharapkan masukan-masukan guna memperkaya konsep awal tersebut sebagai bahan penyusunan Naskah Akademik yang kemudian akan dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Diharapkan RUU SJSN dapat dirampungkan sebelum bulan Desember 2002.
Prof. Dr. Yaumil Chairiah Agoes Achir, Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial SJSN Nasional, Deputi Sekretaris Wakil Presiden, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasionan (BKKBN)
PADA setiap diskusi mengenai ekonomi rakyat, sangat sulit untuk tidak berusaha mendefinisikan yang dimaksud dengan ekonomi rakyat. Sayangnya, usaha pendefisnian tersebut banyak yang berakhir justru dengan perdebatan atas definisinya daripada esensi penguatan atau pemberdayaan ekonomi-rakyatnya sendiri. Padahal perdebatan mengenai definisi ekonomi rakyat sebenarnya tidak terlalu produktif, karena pada dasarnya hampir semua pihak telah sepaham mengenai pengertian apa yang dimaksud dengan “ekonomi rakyat” tanpa harus mendefinisikan (Krisnamurthi, 2001). Namun guna memperoleh perspektif yang sama mengenai diskusi yang akan dilakukan berkaitan dengan judul diatas 1) maka makalah ini bermaksud untuk mendiskusi krisis moneter dalam konteks ekonomi rakyat: bagaimana posisi ekonomi rakyat ketika krisis ekonomi terjadi, apakah sebagai sebab atau penerima akibat; dan apa yang harus dilakukan untuk mencegah kesalahan serupa terulang dimasa depan. Oleh sebab itu tetap perlu dilakukan terlebih dahulu, penyampaian persepsi makalah ini atas ekonomi rakyat tanpa bermaksud untuk terlalu menekan pada usaha pendefinisian.
1) Sebenarnya, Panitia Seri Seminar ini hanya memberi judul “Krisis Moneter Indonesia”. Penulis menambahkan merubah judul agar lebih terlihat konteksnya dikaitkan dengan ekonomi rakyat.
Ekonomi rakyat adalah “kegiatan ekonomi rakyat banyak” (Krisnamurthi, 2001). Jika dikaitkan dengan kegiatan pertanian, maka yang dimaksud dengan kegiatan ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi petani atau peternak atau nelayan kecil, petani gurem, petani tanpa tanah, nelayan tanpa perahu, dan sejenisnya; dan bukan perkebunan atau peternak besar atau MNC pertanian, dan sejenisnya. Jika dikaitkan dengan kegiatan perdagangan, industri, dan jasa maka yang dimaksud adalah industri kecil, industri rumah tangga, pedagang kecil, eceran kecil, sektor informal kota, lembaga keuangan mikro, dan sejenisnya; dan bukan industri besar, perbankan formal, konglomerat, dan sebagainya. Pendeknya, dipahami bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi rakyat (banyak)” adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang banyak dengan skala kecil-kecil, dan bukan kegiatan ekonomi yang dikuasasi oleh beberapa orang dengan perusahaan dan skala besar, walaupun yang disebut terakhir pada hakekatnya adalah juga ‘rakyat’ Indonesia.
Perspektif lain dari ekonomi rakyat dapat pula dilihat dengan menggunakan perspektif jargon: “ekonomi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Krisnamurthi, 2000). “Dari rakyat”, berarti kegiatan ekonomi itu berkaitan dengan penguasaan rakyat dan aksesibilitas rakyat terhadap sumberdaya ekonomi. Rakyat menguasai dan memiliki hak atas sumberdaya untuuk mendukung kegiatan produktif dan konsumtifnya. Dalam hal ini, sumberdaya ekonomi yang dimaksud adalah segala sumberdaya yang dapat digunakan untuk menjalankan penghidupan, baik sumberdaya alam, modal, tenaga kerja (termasuk tenaga kerjanya sendiri), ketrampilan, pengetahuan, juga sumberdaya sosial (kelompok, masyarakat) sumberdaya jaringan (‘network’), informasi, dan sebagainya.
“Oleh rakyat”, berarti proses produksi dan konsumsi dilakukan dan diputuskan oleh rakyat. Rakyat memiliki hak atas pengelolaan proses produktif dan konsumtif tersebut. Berkaitan dengan sumberdaya (produktif dan konsumtif), rakyat memiliki alternatif untuk memilih dan menentukan sistem pemanfaatan, seperti berapa banyak jumlah yang harus dimanfaatkan, siapa yang memanfaatkan, bagaimana proses pemanfaatannya, bagaimana menjaga kelestarian bagi proses pemanfaatan berikutnya, dan sebagainya.
“Untuk rakyat”, berarti rakyat banyak merupakan ‘beneficiaries utama dari setiap kegiatan produksi dan konsumsi. Rakyat menerima manfaat, dan indikator kemantaatan paling utama adalah kepentingan rakyat.
Dalam hal ini perlu pula dikemukakan bahwa ekonomi rakyat dapat berkaitan “dengan siapa saja”, dalam arti kegiatan transaksi dapat dilakukan juga dengan “non-ekonomi-rakyat”. Juga tidak ada pembatasan mengenai besaran, jenis produk, sifat usaha, permodalan, dan sebagainya. Ekonomi rakyat tidak eksklusif tetapi inklusif dan terbuka. Walaupun demikian, sifat fundamental diatas telah pula menciptakan suatu sistem ekonomi yang terdiri dari pelaku ekonomi, mekanisme transaksi, norma dan kesepakatan (“rule of the game”) yang khas, yang umumnya telah memfasilitasi ekonomi rakyat untuk survive dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakatnya.
Berdasarkan pemahaman diatas, maka ekonomi rakyat memiliki dimensi yang luas. Dalam ekonomi rakyat, pelakunya melakukan kegiatan produksi dan konsumsi. Mereka adalah orang-orang yang bekerja sendiri dan juga mereka yang bekerja menerima upah. Mereka adalah kegiatan usaha formal (berijin usaha, seperti koperasi atau CV atau bentuk badan hukum lain) dan juga sangat banyak yang informal atau nono-formal. Umumnya mereka berskala mikro dan kecil tetapi juga terdapat beberapa yang berskala menengah. Mereka memiliki kemandirian dalam mengambil keputusan dan tidak hanya tergantung pada pihak lain (apakah itu bank, pemilik saham, atau entitas lain). Mereka bisa berada dalam kegiatan ekonomi tradisional tetapi juga tidak sedikit yang bergerak dalam sistem ekonomi modern. Mereka sebagian besar hanya beroperasi secara lokal, tetapi beberapa diantaranya juga memiliki kemampuan dan daya saing internasional yang handal. Mereka bisa melekat pada badan usaha pemerintah atau swasta. Dan yang terpenting adalah mereka berbasis pada manusia, keluarga, dan masyarakat; dari pada hanya sekedar angka-angka uang (modal) atau produk.
Dengan pemahaman diatas pula, dapat dinyatakan bahwa ekonomi Indonesia sebenarnya adalah berbasis ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat (banyak) mencakup 99 % dari total jumlah unit usaha (business entity), menyediakan sekitar 80 % kesempatan kerja, melakukan lebih dari 65 % kegiatan distribusi, dan melakukan kegiatan produksi bagi sekitar 55 % produk dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, 60 % diantaranya berada di daerah pedesaan, 65 % berusaha dibidang pertanian dan kegiatan lain yang terkait, dan menjadi basis dari 63 % konsumsi domestik, serta tersebar merata diseluruh wilayah Indonesia. Hanya saja, ketimpangan distribusi aset produktif (formal) – yang sekitar 65 %-nya dikuasai oleh 1 % pelaku usaha terbesar – menyebabkan kontribusi nilai produksi (GDP) dan ekspor kegiatan ekonomi raktyat relatif lebih kecil. Peran ekonomi rakyat juga teraktualisasi pada masa krisis multidimensi saat ini. Jika memang disepakati bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2000 sebesar 4,5 % terutama disebabkan oleh tarikan konsumsi, baik konsumsi domestik maupun konsumsi asing (ekspor) – terutama karena kegiatan investasi dan pengeluaran pemerintah yang sangat terbatas – maka dapat diduga bahwa peran ekonomi rakyat sangat signifikan. Hal ini tersebut didasari oleh argumentasi bahwa rumah tangga yang menggantungkan kehidupannya dari kegiatan ekonomi rakyat adalah konsumen terbesar, bahkan bagi produk yang dihasilkan kegiatan ekonomi besar. Daya produktif kegiatan ekonomi rakyatlah yang mampu mendorong peningkatan konsumsi, termasuk terjaga maraknya berbagai kegiatan ‘masal’ dari ekonomi riil – seperti mudik Lebaran dan naik haji. Indikasi lain dapat pula ditunjukkan oleh peningkatan kegiatan (tabungan dan penyaluran kredit) hampir diseluruh lembaga keuangan mikro, peningkatan penjualan kendaraan bermotor roda dua, peningkatan jumlah berbagai produk pertanian, tetap hidupnya pasar-pasar tradisional pada saat krisis, dan sebagainya.
Namun demikian perspektif ‘dari, oleh, dan untuk rakyat” tersebut diatas juga mengetengahkan gambaran suram dari ekonomi rakyat di Indonesia. Penguasaan dan akses terhadap sumberdaya oleh rakyat (banyak) masih sangat banyak menghadapi masalah. Perlindungan hukum atas usaha masih lemah, hak atas tanah masih menjadi sesuatu yang sangat didambakan, posisi rebut-tawar (bargaining position) dalam penguasaan sumberdaya hampir selalu berada pada titik yang terendah. Bahkan sumberdaya yang tadinya dikuasai oleh rakyat, dengan mudah berpindah tangan. Kisah konversi lahan pertanian produktif milik rakyat menjadi lapangan golf, real estate mewah, dan kawasan industri bagi MNC merupakan bentuk ketidak-berdayaan penguasaan sumberdaya oleh rakyat. Sebaliknya saat lahan HPH yang telah digunduli dan tidak lagi produktif, “non-ekonomi-rakyat” meninggalkannya begitu saja sering kali justru dengan tinggalan masalah adanya konflik kepentingan diantara rakyat sendiri. Perbandingan ketersediaan sumberdaya ‘publik’ seperti listrik, air, dan telpon yang tidak seimbang antara alokasi untuk bagi kegiatan ekonomi rakyat dan non-ekonomi rakyat, juga menggambarkan situasi suram aspek “dari rakyat” tersebut.
Rakyat juga sering dibatasi kemampuannya untuk mengambil keputusan. Infrastruktur fisik dan kelembagaan yang dibangun cenderung mengarah pada penyeragaman proses pengambilan keputusan yang dirancang tidak oleh rakyat sendiri. Infrastruktur irigasi yang hanya memfasilitasi teknologi lahan sawah, misalnya, telah membatasi kemampuan petani mengembangka usahataninya. Tidak ada infrastruktur irigasi yang dirancang untuk memfasilitasi petani mengembangkan hortikultura atau peternakan. Kelembagaan koperasi yang diseragamkan menjadi KUD, atau hilangnya kelembagaan panen tradisional, atau hilangnya kelembagaan lumbung desa, semua akibat introduksi teknologi dan kelembagaan serba seragam, serta sistem keuangan yang “memaksa” rakyat menerima sistem yang mensyaratkan berbagai hal tidak sesuai dengan kondisi naturalnya, juga merupakan fakta-fakta lain yang menunjukkan kemampuan “oleh-rakyat” menjadi sangat terbatas. Rakyat juga memiliki akses yang sangat terbatas terhadap informasi dan teknologi, yang pada gilirannya membuat kemampuan pengambilan keputusan menjadi jauh lebih terbatas.
Aspek “untuk rakyat” menghadapi situasi yang lebih jauh tertinggal. Melalui sistem perbankan yang terpusat, selama 30 tahun dana yang disedot dari pedesaan 2,5 kali lebih besar dari dana yang disalurkan kembali ke pedesaan. Kontribusi pertanian dalam bentuk pangan yang murah dan tenaga kerja yang lebih terdidik, merupakan manfaat yang dirasakan oleh kegiatan-kegiatan “non-ekonomi-rakyat” sebagia bagian dari strategi “keunggulan komparatif” berbasis tenaga kerja murah. Mungkin tidak sekejam tanam paksa, tetapi pengembangan kegiatan ekonomi berbasis buruh murah telah berjalan lama sejak penjajahan hingga kini. Kemampuan sektor informal kota dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan sistem distribusi kebutuhan pokok dengan murah dan efisien telah pula menjadi manfaat besar bagi “non-ekonomi-rakyat” dalam mengembangkan sistem kerja yang tidak memihak pada buruhnya.
Intinya, terdapat ketidak-adilan dalam pengembangan ekonomi. Non-ekonomi-rakyat telah mendapat banyak kemudahan dan dukungan, karena dipandang lebih sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Kemudahan dan dukungan tersebut kemudian Kelompok “non-ekonomi-rakyat” telah banyak mendapat dukungan dari elite pemerintah, dan telah mengembangkan ketergantungannya pada kelompok tersebut sehingga menjadi kelompok “elite penguasa-pengusaha”. Dalam hal ini kelompok “non-ekonomi-rakyat” menjadi rentan terhadap perubahan yang terjadi pada elite penguasa tersebut. Pada saat yang sama sistem pengembangan yang penuh dengan “dukungan yang distortif” telah tersebut telah menjadikan “non-ekonomi-rakyat” menjadi lebih terkait dengan ekonomi global. Keterkaitan dengan pasar dunia, baik pasar barang, pasar uang, dan pasar modal; telah menyebabkan kegiatan “non-ekonomi-pasar” menjadi kegiatan dengan “banyak pengambil keputusan” dalam dunia yang tidak berbatas dan masih rentan. Sebaliknya, “ekonomi rakyat” yang tidak mendapat kesempatan untuk itu, memang mengalami sangat banyak kesulitan untuk berkembang dan memberi kesejahteraan bagi pelakunya. Dukungan yang relatif kecil dari pemerintah-penguasa telah menjadikan pelaku ekonomi rakyat tidak sangat tergantung pada kondisi elite. Kondisi yang “terbatas” terhadap akses ke pasar global juga sekaligus memberi ‘kekebalan’ kepada ekonomi rakyat untuk tidak mudah terpengaruh atas kondisi yang terjadi didunia internasional, atau bahkan yang terjadi secara nasional. Hal inilah yang kemudian menjadi preposisi dasar dalam melihat posisi ekonomi rakyat dalam krisis moneter yang belum lama terjadi dan masih terasa hingga saat ini.
Sebelum membahas krisis moneternya sendiri, ada baiknya disampaikan dahulu perspektif struktur kelembagaan ekonomi Indonesia pada saat krisis akan terjadi 2) seperti dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
2) Struktur kelembagaan ekonomi tersebut sebenarnya hingga saat ini masih belum banyak berubah (diubah), walaupun struktur yang demikian itulah krisis ekonomi Indonesia menjadi begitu parah dan sulit diselesaikan.
Gambar diatas secara skematik menunjukkan bahwa ekonomi rakyat dalam perspektif seperti Indonesia juga terdapat dinegara-negara lain. De Soto (2000) menjelaskan bahwa dibanyak negara, ekonomi rakyat yang ‘berbeda’ sistem dan mekanismenya dengan ekonomi berbasis kapital yang dikenal oleh ‘masyarakat barat’ merupakan basis kegiatan ekonomi negara yang bersangkutan. Demikian pula dengan “non-ekonomi-rakyat” yang dapat diidentifikasikan sebagai kelompok kapital global.
Tanpa bermaksud membatasi aktivitas ekonomi dalam dimensi ruang yang kaku, Gambar 1 menunjukkan bahwa
(1) Arus moneter (uang tunai dan modal) dari kegiatan ekonomi rakyat ke kegiatan ‘non-ekonomi-rakyat’ memiliki volume yang jauh lebih besar dari pada arus sebaliknya. Hal ini terjadi melalui sistem perbankan, penyedian pangan murah, penyediaan buruh murah, penyediaan lahan/property murah, dan posisi ekonomi rakyat yang menjadi pasar bagi produk dan jasa. Kondisi tersebut berlangsung akibat dominasi paduan pengusaha-penguasa, sistem legal-formal yang “bias-against” ekonomi rakyat, dan kemampuan menguasai informasi sebagai sarana untuk promosi. Singkatnya, ekonomi rakyat telah mensubsidi ‘non-ekonomi-rakyat’ dan terjadi fenomena “double squeezed economy” melalui penyediaan sumberdaya oleh rakyat dan rakyat dijadikan pasar.
(2) Hubungan antara “non-ekonomi rakyat” lokal dengan kapitalisme global juga merupakan hubungan yang timpang. Pada tahun 1990-an, kapitalisme global tengah berbenah diri untuk menghadapi abad yang baru yang ditandai oleh dua fenomena besar, yaitu WTO dan mata uang Euro (Soros, 1998). Dan hal ini membuat mereka sedang berada pada situasi yang rentan. Sebagai usaha mengantisipasi hal tersebut modal besar dari para kapitalis global tersebut dialirkan ke kegiatan ekonomi yang dianggap paling menjanjikan, yaitu Asia. Akibatnya modal, dalam bentuk hutang, mengalir “door-to-door” dengan derasnya, baik dalam bentuk modal tunai, tawaran saham dan investasi, maupun aliran input produksi, barang konsumsi, teknologi, bahkan tenaga kerja. Dalam lingkup domestikpun hutang modal dan hutang konsumsi juga mengalir kesana kemari dengan sangat cepat dan dalam jumlah yang sangat besar. Sebaliknya, penggunaan (utilization) dari modal tersebut belum berjalan dengan baik, karena sebagian dari proses relokasi industri baru berjalan pada tahap awal.
(3) Aliran moneter dari kapitalme global ke ekonomi rakyat Indonesia relatif kecil. Hal ini terutama karena kerangka kelembagaannya tidak berkesesuaian (not-compatible). Kalaupun ada, hanya dalam bentuk dana-dana pinjaman lunak pemerintah yang banyak kembali ke “negara donor” atau bocor ditengah jalan dari pada diterima oleh ekonomi rakyat.
(4) Hubungan ekonomi rakyat Indonesia dengan ekonomi rakyat di negara lain juga berjalan lambat dan tersendat, terutama karena infrastruktur dan institusi perdagangan modern memang dikuasai oleh para pelaku “non-ekonomi-rakyat”. Hubungan Selatan-Selatan atau diantara negara-negara Non-Blok secara langsung hampir selalu lebih mahal dibandingkan dengan menggunakan ‘jasa’ negara ketiga yang mampu menyediakan layanan infrastruktur perdagangan secara lebih efisien (Isaak, 1995).
Dalam format seperti diataslah situasi ekonomi saat krisis moneter melanda Indonesia. Krisis moneter yang diawali oleh krisis nilai tukar tersebut sebenarnya telah lama diperkirakan dan telah diduga meningkat peluangnya saat pergantian abad (lihat Soros, 1998, Giddens, 1998, atau Ormerod, 1994, atau bahkan Marx (1849) dalam Magnis-Suseno, 1999). Ketika nilai tukar jatuh, maka “non-ekonomi-rakyat” di Indonesia langsung terpukul telak oleh dua hal yang sangat ‘mematikan’: membengkaknya nilai hutang dolar dalam rupiah dan mahalnya biaya produksi yang selama ini berbasis input impor. Perusahaan-perusahaan tidak dapat lagi menunjukkan kinerja keuangan yang sehat, tidak dapat mengembalikan hutang, dan pada gilirannya menghancurkan sistem perbankan.
Sampai pada tahap ini ekonomi rakyat masih belum merasakan dampak negatif yang terlalu besar dari krisis moneter. Bahkan banyak diantaranya yang mendapat ‘rejeki dolar’ karena harga produk yang dihasilkannya melonjak tinggi sejalan dengan peningkatan nilai dolar, seperti yang dirasakan para petani coklat dan para pengrajin yang memiliki konsumen di luar negeri. Hal tersebut terutama juga karena struktur kelembagaan yang diuraikan diatas. Lemahnya keterkaitan ekonomi rakyat dengan kapitalisme global yang menjadi sumber dari krisis moneter tersebut, telah menjadi ‘blessing in disguised’ bagi ekonomi rakyat.
Namun ketika krisis moneter berlanjut menjadi krisis ekonomi (pertumbuhan ekonomi menurun, inflasi meninggi, banyaknya pegawai di PHK, meningginya harga pangan impor, pengurangan subsidi BBM, dan sebagainya) maka ekonomi rakyat mengalami tekanan yang semakin berat. Pada tahap inipun sebenarnya daya ‘survival’ ekonomi rakyat sangat tinggi. Dengan cepat terjadi perubahan-perubahan yang mendasar. Produk yang diimpor diganti dengan produk lokal atau produk impor yanglebih murah (fenomena motor Cina atau maraknya produk elektronik lokal dan impor yang “mereknya tidak dikenal sebelumnya”).
Tekanan menjadi semakin berat lagi setelah krisis ekonomi juga memicu krisis sosial politik dan keamanan, serta serangkaian pilihan kebijakan dalam usaha untuk mengatasi krisis yang justru menempatkan ekonomi rakyat sebagai pihak yang dikorbankan. Perbankan dan ‘non-ekonomi-rakyat’ yang notabene menjadi penyebab krisis berusaha ‘diselamatkan’ dengan menggunakan dana trilyunan rupiah dari sumberdaya negara yang telah sangat terbatas, sebaliknya kegiatan ekonomi rakyat seolah ditinggalkan. Mencari hutang baru dan menerapkan sistem legal-formal-konvensional seperti menjadi hal yang dipaksakan harus ada, padahal kedua hal itu justru telah menunjukkan kemampuan menghadapi tekanan eksternal yang berat. Sebaliknya sistem ekonomi rakyat yang nyata-nyata telah mampu bertahan bahkan telah lebih berkembang selama krisis justru tidak diabaikan. Dalam kondisi rawan keamananpun, kegiatan ekonomi rakyat juga menjadi kegiatan yang paling rentan dan menderita, saat elite politik berdebat saling mengkritik dan membangun perbedaan pendapat.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa ekonomi rakyat merupakan korban dari krisis moneter yang terjadi belum lama ini, terutama akibat timbulnya berbagai masalah setelah krisis terjadi (bukan oleh krisis moneter itu sendiri) dan akibat pilihan kebijakan yang diterapkan sebagai usaha mengatasi krisis. Oleh karenanya, yang harus dilakukan terutama adalah untuk merubah pendekatan kebijakan yang tidak memihak kepada ekonomi rakyat. Atau setidaknya yang perlu dikembangkan kebijakan yang ‘not-against’ atau netral terhadap ekonomi rakyat. Beberapa koreksi yang perlu dilakukan, karena selama ini kebijakan ekonomi sering kali membawa ciri-ciri sebagai berikut (Krisnamurthi, 2001):
a. Pertimbangan dalam penetapan kebijakan tersebut seringkali memang tidak atas dasar kepentingan kegiatan ekonomi rakyat. Misalnya, pembentukan tingkat bunga melalui berbagai instrumen moneter lebih didasarkan pada kepentingan ‘balance of payment’ dan penyehatan perbankan; atau dilihat dari pemanfaatan cadangan pemerintah yang sangat besar bagi rekapitalisasi bank, padahal bank tidak (dapat) melayani kegiatan ekonomi rakyat; atau penetapan kebijakan perbankan sendiri yang penuh persyarakatan yang tidak sesuai dengan kondisi objektif ekonomi rakyat, padahal mereka adalah pemilik-suara (voter) terbanyak yang memilih pada pembuat keputusan. Dalam hal ini, mengingat lamanya pengaruh lembaga internasional (WB, IMF, dll) patut pula diduga bahwa perancangan pola kebijakan tersebut juga membawa kepentingan internasional tersebut. Demikian juga, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah juga telah mengindikasikan pertimbangan yang tidak berorientasi ekonomi rakyat. Otonomi seharusnya juga berarti perubahan
b. Kebijakan pengembangan yang dilakukan lebih banyak bersifat regulatif dan merupakan bentuk intervensi terhadap kegiatan yang telah dilakukan oleh ekonomi rakyat. Inovasi dan kreativitas ekonomi rakyat, terutama dalam mengatasi berbagai kelemahan dan keterbatasan yang dihadapi, sangat tinggi. Namun banyak kasus yang menunjukkan bahwa kebijakan yang dikembangkan lebih banyak membawa norma dan pemahaman dari “luar” dari pada mengakomodasi apa yang sudah teruji berkembang dalam masyarakat. Posisi lembaga keuangan mikro dalam sistem keuangan nasional merupakan salah satu contoh terdepan dalam permasalahan ini.
c. Kebijakan pengembangan yang dilakukan cenderung bersifat ‘ad-hoc’ dan parsial. Banyaknya kebijakan yang dilakukan oleh banyak pihak sering kali bersifat kontra produktif. Seorang Camat atau kepala desa atau kelompok masyarakat misalnya, sering kali harus menerima limpahan pelaksanaan ‘tugas’ hingga 10 atau 15 program dalam waktu yang bersamaan, dari berbagai instansi yang berbeda dan dengan metode dan ketentuan yang berbeda. Tumpang tindih tidak dapat dihindari, pengulangan sering terjadi tetapi pada saat yang bersamaan banyak aspek yang dibutuhkan justru tidak dilayani.
d. Mekanisme penghantaran kebijakan (delevery mechanism) yang tidak apresiatif juga merupakan faktor penentu keberhasilan kebijakan. Kemelut Kredit Usaha Tani (KUT) merupakan contoh kongkrit dari masalah mekanisme penghantaran tersebut. Demikian pula sikap birokrasi yang ‘memerintah’, merasa lebih tahu, dan ‘minta dilayani’ merupakan permasalahan lain dalam implementasi kebijakan. Sikap tersebut sering kali jauh lebih menentukan efektivitas kebijakan.
e. Banyak kebijakan yang bersifat ‘mikro’, padahal yang lebih dibutuhkan oleh ekonomi rakyat adalah kebijakan makro yang kondusif. Dalam hal ini, tingkat bunga yang kompetitif, alokasi kebijakan fiskal yang lebih seimbang sesuai dengan porsi pelaku ekonomi, dan kebijakan nilai tukar, disertai berbagai kebijakan pengaturan (regulative policy) tampaknya masih jauh dari harapan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Perbaikan atas pola kebijakan tersebut diatas harus segera dilakukan. Jika tidak, peluang untuk keluar dari krisis akan semakin kecil, bahkan akan terbuka kembali peluang terjadinya krisis berikutnya yang sangat mungkin akan lebih luas dampaknya bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Jika memang belum dapat dilakukan kebijakan yang mendukung ekonomi rakyat, atau juga masih kesulitan untuk membuat kebijakan yang netral terhadap ekonomi rakyat, minimal jangan buat kebijakan yang merugikan ekonomi rakyat, atau jangan buat kebijakan apapun dan biarkan ekonomi rakyat berkembang dengan kemampuannya sendiri. Yakinlah, rakyat Indonesia mampu melakukan hal itu.-
Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi: Direktur Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor (IPB)
Makalah disampaikan dalam Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Krisis Moneter Indonesia, Jakarta, 9 April 2002
PUSTAKA
1. De Soto, Hernando. 2001. The Missing Ingredient. CIDA Forum on Knowledge and Information. (www.idrc.ca/library/forum/desoto.html)
2. De Soto, Hernando. 2000. The Mystery of Capital, Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else. Basic Books, New York.
3. Giddens, Anthony. 1998. The Third Way, The Renewal of Society Democracy. Blackwell Publisher. MA.
4. Krisnamurthi, Bayu. 2001. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Mencari Format Kebijakan Optimal. Makalah pada Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat : Strategi Revitalisasi Perekonomian Indonesia. CSIS- Bina Swadaya, Jakarta 21 Februari 2001; telah pula dipublikasikan dalam Jurnal Ekonomi Rakyat (online, www.ekonomi-rakyat.org)
5. Krisnamurthi, Bayu. 2000. Ekonomi Rakyat dan Pengelolaan Sumberdaya Pantai dan Laut. Makalah pada Lokakarya Pengelolaan Sumberdaya Pantai dan Laut, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta, Nopember 2000.
6. Ormerod, Paul. 1994. The Death of Economics. Cambridge University Press. London.
7. Magis-Suseno, Franz. 1999. Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
8. Soros, George. 1998. The Crisis of Global Capitalism. Open Society Endangered. Little Brown Company. London.
I. Duabelas seri Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat (SPER) selama 6 bulan (Januari – Juni 2002) telah memperdalam pemahaman tentang pengertian ekonomi rakyat dan peranannya dalam pembangunan Indonesia. Duabelas sesi SPER membahas topik-topik sebagai berikut:
1.
Pembukaan: Pengertian Dasar Ekonomi Rakyat,
2.
Ekonomi Rakyat dan Kemiskinan,
3.
Sistem Ekonomi Indonesia,
4.
Ekonomi Moral dan Etika Bisnis,
5.
Sejarah dan Politik Pertanian Indonesia,
6.
Krisis Moneter Indonesia,
7.
Utang Luar Negeri dan Pembangunan,
8.
Otonomi Daerah,
9.
Koperasi,
10.
LKM (Lembaga Keuangan Mikro),
11.
Keswadayaan.
II. Sejarah ekonomi bangsa selama masa penjajahan 3,5 abad menggambarkan eksploitasi sistem kapitalisme liberal atas ekonomi rakyat yang berakibat pada pemiskinan dan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat yang sangat pincang. Struktur sosial ekonomi yang tak berkeadilan sosial ini, melalui tekad luhur proklamasi kemerdekaan, hendak diubah menjadi masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
III. Dengan warisan sistem ekonomi dualistik dan sistem sosial-budaya pluralistik, bangsa Indonesia membangun melalui “eksperimen” sistem sosialis dan sistem kapitalis dalam suasana sistem ekonomi global yang bernaluri pemangsa (predator). Eksperimen pertama berupa sistem ekonomi sosialis (1959-66) gagal karena tidak sesuai dengan moral Pancasila dan pluralisme bangsa, sedangkan eksperimen kedua yang “demokratis” berdasar sistem kapitalisme pasar bebas (1966 – 1998) kebablasan karena paham internasional liberalisme cum neoliberalisme makin agresif menguasai ekonomi Indonesia dalam semangat globalisasi yang garang. Krisis moneter yang menyerang ekonomi Indonesia tahun 1997 merontokkan sektor perbankan-modern yang keropos karena sektor yang kapitalistik ini terlalu mengandalkan pada modal asing. Utang-utang luar negeri yang makin besar, baik utang pemerintah maupun swasta, makin menyulitkan ekonomi Indonesia karena resep-resep penyehatan ekonomi dari ajaran ekonomi Neoklasik seperti Dana Moneter Internasional (IMF) tidak saja tidak menguatkan, tetapi justru melemahkan daya tahan ekonomi rakyat. Sektor ekonomi rakyat sendiri khususnya di luar Jawa menunjukkan daya tahan sangat tinggi menghadapi krisis moneter yang berkepanjangan. Ekonomi Rakyat yang tahan banting telah menyelamatkan ekonomi nasional dari ancaman kebangkrutan.
IV. Krisis sosial dan krisis politik yang mengancam keutuhan bangsa karena meledak bersamaan dengan krisis moneter 1997 bertambah parah karena selama lebih dari 3 dekade sistem pemerintahan yang sentralistik telah mematikan daya kreasi daerah dan masyarakat di daerah-daerah. Desentralisasi dan Otonomi Daerah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat daerah dalam pembangunan ekonomi, sosial-budaya, dan politik daerah, menghadapi hambatan dari kepentingan-kepentingan ekonomi angkuh dan mapan baik di pusat maupun di daerah. Ekonomi Rakyat di daerah-daerah dalam pengembangannya memerlukan dukungan modal, yang selama bertahun-tahun mengarus ke pusat karena sistem perbankan sentralistik. Modal dari daerah makin deras mengalir ke pusat selama krisis moneter. Undang-undang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dikembangkan melalui kelembagaan ekonomi dan keuangan mikro, dan peningkatan kepastian usaha di daerah-daerah. Kepastian usaha-usaha di daerah ditingkatkan melalui pengembangan sistem keuangan Syariah dan sistem jaminan sosial untuk penanggulangan kemiskinan, dan pengembangan program-program santunan sosial, kesehatan, dan pendidikan.
V. Krisis Moneter juga menciptakan suasana ketergantungan ekonomi Indonesia pada kekuatan kapitalis luar negeri, lebih-lebih melalui cara-cara pengobatan Dana Moneter Internasional (IMF) yang tidak mempercayai serta mempertimbangkan kekuatan ekonomi rakyat dalam negeri khususnya di daerah-daerah. Kebijakan, program, dan teori-teori ekonomi yang menjadi dasar penyusunannya didasarkan pada model-model pembangunan Neoklasik Amerika yang agresif tanpa mempertimbangkan kondisi nyata masyarakat plural di Indonesia. Pakar-pakar ekonomi yang angkuh, yang terlalu percaya pada model-model teoritik-abstrak, berpikir dan bekerja secara eksklusif tanpa merasa memerlukan bantuan pakar-pakar non-ekonomi seperti sosiologi, ilmu-ilmu budaya, dan etika. Strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan makro dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan telah secara rata-rata menaikkan peringkat ekonomi Indonesia dari negara miskin ke peringkat negara berpendapatan menengah, namun disertai distribusi pendapatan dan kekayaan yang timpang, dan kemiskinan yang luas. Reformasi ekonomi, politik, sosial-budaya, dan moral, membuka jalan pada reformasi total mengatasi berbagai kesenjangan sosial-ekonomi yang makin merisaukan antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin, antara daerah-daerah yang maju seperti Jawa dan daerah-daerah luar Jawa yang tertinggal.
VI. Kemerosotan Etika Pembangunan khususnya di bidang hukum dan bisnis modern berkaitan erat dengan pemaksaan dipatuhinya aturan main global yang masih asing dan sulit dipenuhi perusahaan-perusahaan nasional. Aturan main globalisasi dengan paham Neoliberal yang garang terutama berasal dari ajaran “Konsensus Washington” telah menyudutkan peranan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) merupakan jalan pintas para pelaku bisnis untuk memenangkan persaingan secara tidak bermoral yang merasuk pada birokrasi yang berciri semi-feodal. Etika Ekonomi Rakyat yang jujur, demokratis, dan terbuka, yang menekankan pada tindakan bersama (collective action) dan kerjasama (cooperation), merupakan kunci penyehatan dan pemulihan ekonomi nasional dari kondisi krisis yang berkepanjangan. Inilah moral pembangunan nasional yang percaya pada kekuatan dan ketahanan ekonomi bangsa sendiri.
VII. Mengingat berbagai konstatasi di atas, kami yang mewakili:
1.
Pusat P3R-YAE (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Perekonomian Rakyat – Yayasan Agro Ekonomika)
2.
Komisi Ilmu-ilmu Sosial – AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)
3.
Bina Swadaya
4.
Perhepi (Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia)
5.
ISI (Ikatan Sosiologi Indonesia)
6.
Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia),
Yang telah bahu-membahu melaksanakan Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat di Jakarta selama 6 bulan sejak 22 Januari hingga 2 Juli 2002 menyampaikan :
MANIFESTO POLITIK EKONOMI PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT, sebagai berikut:
A. Sistem Ekonomi Nasional
Sistem Ekonomi Nasional Indonesia adalah Sistem Ekonomi Kerakyatan yaitu ekonomi berasas kekeluargaan yang demokratis dan bermoral dengan pemihakan pada sektor ekonomi rakyat. Pemihakan dan perlindungan pada ekonomi rakyat merupakan strategi memampukan dan memberdayakan pelaku-pelaku ekonomi rakyat yang sejak zaman penjajahan dan setengah abad Indonesia Merdeka selalu dalam posisi tidak berdaya. Prasyarat sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.
B. Paradigma Pembangunan
Moral Pembangunan yang mendasari paradigma pembangunan Indonesia yang berkeadilan sosial mencakup:
1.
peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat laki-laki dan perempuan serta otonomi daerah;
2.
penyegaran nasionalisme ekonomi melawan ketidakadilan;
3.
pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural;
4.
pencegahan kecenderungan disintegrasi nasional;
5.
pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu sosial di universitas.
6.
penghormatan HAM dan masyarakat.
C. Kebijakan dan Strategi:
1. Ketetapan Hati. Pemerintah dan wakil-wakil rakyat senantiasa berketetapan hati meningkatkan taraf kehidupan masyarakat terutama ekonomi rakyat di daerah-daerah terpencil yang menggunakan sumberdaya alam setempat, dengan kekuatan modal sendiri, teknologi tepat guna, dan pasar terbatas.
2. Kemiskinan. Kemiskinan mewarnai ekonomi rakyat sejak zaman penjajahan. Meskipun selama era Orde Baru kemiskinan absolut mulai berkurang, namun kemiskinan relatif meningkat karena perbedaan yang makin besar dalam peningkatan kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat. Kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan yang adil berpihak dan bersasaran pada kelompok yang paling miskin.
3. Pengangguran. Penduduk miskin di Indonesia bukanlah penganggur penuh, tetapi bekerja namun dengan pendapatan rendah. Mereka itulah pelaku-pelaku ekonomi rakyat yang memerlukan dukungan program-program pemberdayaan. Program-program pemberdayaan yang diprakarsai pemerintah dikembangkan menjadi program-program milik kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang mandiri, dengan bantuan dana bergulir dari pemerintah, LSM, atau sumber-sumber dana lain.
4. Perbankan. Industri perbankan sebagai lembaga keuangan intermediasi yang telah berkembang cepat melalui kebijakan deregulasi (1983–93), dibenahi sungguh-sungguh agar tidak memperdaya tetapi benar-benar memberdayakan ekonomi rakyat. Melalui pengembangan program-program keuangan mikro, perbankan dikaitkan dengan lembaga-lembaga keuangan asli masyarakat berdasarkan adat setempat yang sudah lama diterapkan kelompok-kelompok masyarakat kecil.
5. Kebijakan pertanian yang memihak petani. Program pembangunan yang berhasil meningkatkan produksi pertanian terutama pangan, patut dipertimbangkan untuk kembali dilaksanakan, dengan reformasi Agraria, pengelolaan sumberdaya alam, dan perbaikan dasar tukar (term of trade) komoditi-komoditi pertanian, termasuk komoditi ekspor perkebunan yang dihasilkan daerah-daerah tertentu di luar Jawa.
6. Hubungan Keuangan Pusat Daerah. Dalam era otonomi daerah diperlukan hubungan keuangan yang adil, imbang, dan harmonis, antara pusat dan daerah. Program-program pembangunan daerah mengembangkan potensi-potensi ekonomi dari daerah-daerah yang kaya sumbedaya alam, dengan sekaligus tidak meninggalkan daerah-daerah yang miskin sumberdaya alam namun berpotensi besar dalam sumberdaya manusia.
7. Pengelolaan Perdagangan Bebas. Proses meningkatnya perdagangan bebas sebagai konsekuensi dan kaitan eratnya dengan globalisasi yang makin garang mengharuskan Indonesia mengelola secara hati-hati perdagangan luar negerinya dan meningkatkan kerjasama ekonomi-perdagangan dalam negeri. Perdagangan ekspor-impor penting sekali, tetapi yang tidak kalah penting adalah melancarkan hubungan dagang antardaerah di Indonesia sendiri dalam rangka negara kesatuan yang kuat dan utuh. Keterpaduan hubungan ekonomi-perdagangan antardaerah merupakan kunci kemampuan dan ketahanan ekonomi nasional.
VIII. PENUTUP
(1). Krisis moneter (Krismon) dan krisis multidimensi yang mencakup berbagai bidang kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat, tidak seharusnya dijadikan alasan ekonomi Indonesia menjadi makin tergantung pada utang dan kepentingan-kepentingan ekonomi luar negeri. Sebaliknya, daya tahan ekonomi Indonesia semakin dikukuhkan di perdesaan dan daerah-daerah luar Jawa. Dalam masa dekat hubungan ekonomi pusat-daerah dan antardaerah dalam rangka otonomi daerah ditingkatkan, diserasikan, dan diselaraskan. Peningkatan daya tahan ekonomi nasional yang berlandaskan ekonomi rakyat lebih mendesak ketimbang peningkatan daya saing yang liberal-kapitalistik. Gerakan koperasi sebagai wadah kegiatan ekonomi rakyat makin digalakkan agar berperan makin besar dalam memajukan perekonomian nasional yang tangguh.
(2). Manifesto Politik Ekonomi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat merupakan manifestasi kesadaran akan kekeliruan “eksperimen” sistem ekonomi yang tidak mempercayai rakyat. Penelitian demi penelitian ke daerah-daerah dan desa-desa di seluruh Indonesia menunjukkan betapa krisis moneter yang berkepanjangan tidak menghancurkan ekonomi Indonesia, dan betapa ramalan akan terjadinya “kiamat” dalam perekonomian Indonesia benar-benar keliru. Pesimisme berlebihan tentang masa depan perekonomian Indonesia sebaiknya tidak dibiarkan. Sebaliknya optimisme yang penuh kewaspadaan akan menjamin tercapainya sasaran pembangunan nasional menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasar Pancasila.
(3). Melalui pengkajian ulang model pembangunan ekonomi Neoklasik ala Amerika yang kapitalistik, neoliberal, dan non-kultural, Indonesia dapat menghindari proses imperialisme intelektual yang tanpa disadari telah mempertukarkan tiga setengah abad penjajahan fisik dengan tiga setengah dasawarsa penjajahan Neoliberal. Sungguh sulit membayangkan masa depan bangsa jika cendekiawan muda Indonesia tidak menyadarinya dan tidak mampu menyiasatinya.
Mengenai Saya
STIE CENDEKIA
- 2008 - 2009 SimplexDesign. Content in my blog is licensed under a Creative Commons License.
- SimplexPro template designed by Simplex Design.
- Powered by Blogger.com.